Senin, 16 Juli 2007

maktabah

NASEHAT SYAIKH ALI HASAN DAN SYAIKH MUSA NASHR KETIKA DAUROH DI MASJID BRIXTON

http://www.freewebs.com/manhajassalafee/The%20Mashaykh%20of%20Jordan%20on%20Luton%20Conference.doc


--------------------------------------------------------------------------------



Pertanyaan :

Apa yang kita katakan kepada mereka yang mentahdzir dauroh ini (?The National Salafi Conference 2004? di Broixton) yang mana mereka mengatakan bahwa kami tidak mentahdzir masyaikh namun kami mentahdzir Masjid dan panitia yang mengorganisir Dauroh, karena mereka adalah hizbi?



Jawaban Syaikh Musa :

Ini saatnya bagi seorang Muslim untuk berfikir dengan akalnya dan menggunakan akalnya secara baik dan meninggalkan taklid. Suatu hal yang membuat saya heran adalah, apakah kalian mempercayai bahwa orang-orang yang terlibat dengan hizbiyah akan mencintai ulama dan murid-murid mereka? Apakah mereka akan mengundang murid-murid yang telah belajar kepada ulama-ulama besar ini, supaya hadir dan memberikan ceramah? Apakah kalian mempercayai hal ini?? Hal ini adalah dua hal yang saling berlawanan yang tidak mungkin dapat bersama.

Jika kalian katakan bahwa saudara-saudara yang mengorganisir Dauroh ini (ikhwan dari Masjid al-Ghuroba, Luton, Inggris, pent) memiliki kehizbiyahan tertentu, maka jelaskan pada kami dan kepada mereka, karena agama ini berdasarkan di atas nasihat yang tulus. Apakah kita tidak seharusnya melaksanakan apa yang diwasiatkan Allah kepada kita, yaitu untuk saling berwasiat kepada kebenaran dan saling berwasiat di atas kesabaran? Dan saling mengajak kepada kebenaran dan kesabaran daripada bersembunyi di balik tembok?

Ini adalah suatu musykilah (problema), setelah malam berganti siang, tidaklah mungkin menuduh seseorang sebagai hizbiyah tanpa bukti, dan ucapan ini sangat jauh dari adanya bukti, tidak ada bukti pada ucapan mereka! Dan kita ?alhamdulillah- adalah orang yang paling berhasrat menyingkirkan hizbiyah dan memeranginya dengan segala hal yang mampu kita lakukan. Kita telah dikenal dengan (sikap seperti ini terhadap hizbiyah) dan kita tidak dikenal sebagai orang yang menggadaikan agama kita dan bekerjasama dengan mereka (hizbiyun).



Jawaban Syaikh Ali Hasan :

Tahun kemarin, tuduhan ini sedikit berbeda. Tahun kemarin yang terjadi adalah masyaikh, Lajnah (panitia) yang mempersiapkan dauroh dan Masjid seluruhnya adalah hizbi. Tahun ini, ada suatu hal yang agak sedikit berbeda, dimana masyaikh tidak lagi hizbi, namun Masjidnya masih hizbi. Tahun kemarin kami hadir, beberapa orang bahkan tidak mau mengucapkan salam kepada kami. Kami datang menempuh perjalanan dari jarak yang jauh dan waktu yang lama, untuk menghadiri, memberikan ceramah dan ambil bagian di Dauroh ini. Mereka mengatakan kepada kami, bahwa kami bingung terhadap dakwah dan kami kami tidak jelas (manhajnya), namun kami adalah orang yang... kami di sini tidak bermaksud memuji diri kami sendiri namun ini adalah perkataan yang benar, bahwa setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala menanamkan akar dakwah (salafiyah) pada negeri ini lebih dari 10 tahun yang lalu, dan bahkan kami telah datang ke sini semenjak itu.

Apa yang menyebabkan mereka merubah tuduhan mereka? Dengan satu alasan, yaitu bahwa bangunan mereka mempunyai suatu kelemahan, bangunan tersebut tidak begitu kuat sebagaimana kami datang sebelumnya. Nasehat kami kepada mereka adalah, takutlah kepada Allah terhadap diri mereka sendiri dan terhadap saudara mereka. Duduklah kalian sejenak dan muhasabahlah, karena hati seorang hamba berada diantara dua jari jemari ar-Rahman. Serigala akan memangsa domba yang tersesat dari kawanannya.

Jadi... yang tampak dari pertanyaan ini adalah, mereka telah melihat orang-orang yang hadir pada dauroh tahun ini, dan kenyataannya bahwa orang-orang yang hadir di dalam dauroh ini tidak mampu ditampung oleh Masjid, sehingga rasa dengki dan hasad memasuki hati mereka, dan mereka menuduh ikhwan yang mengatur dauroh ini adalah hizbiyah.

Yang seharusnya kita lakukan adalah, kita harus meyakinkan supaya hati kita terikat dengan para masyaikh salafiyah. Orang-orang seperti ini (yang menuduh) suatu hari akan dipermalukan atau jika Allah menghendaki, mereka akan bergabung dengan kita di jalan dakwah. Segala hal yang telah kami ucapkan ini, tidak berarti bahwa kita tidak dapat memberikan nasehat dan kritik yang membangun, kritik yang akan memperbaiki hubungan dan orang-orang yang kita berhubungan dengannya.

Kita semua ini adalah manusia dan kita semua berbuat kesalahan, namun menuduh seseorang tanpa ada bukti, maka tuduhan tak berdasar tidaklah diterima di dalam agama. Kami telah katakan berulang kali, supaya tidak (meniti) kepada jalan ini, manhaj ini dan orang yang mempraktekan manhaj atau jalan ini, dia tidaklah menghancurkan seorangpun melainkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita harus menutup pintu dari mentalitas yang seperti ini, jika seseorang menyimpang ke kanan atau ke kiri maka dia harus diluruskan, namun tidak dengan manhaj dan jalan ini.

Kami tidak dapat menggunakan manhaj kaum sufi dan mengatakan bahwa hatiku meriwayatkan kepadaku yang bersumber dari tuhanku bahwa fulan dan fulan adalah begini... karena yang demikian ini bukanlah manhaj kita, tanpa dasar dan tanpa bukti menuduh orang sesuatu yang tidak benar. Kebenaran itu lebih besar dari seorangpun diantara kami dan setiap orang harus saling mengingatkan satu dengan lainnya dengan cara terbaik dan menyeru lainnya kepada hal tersebut.

BAHTERA DAKWAH SALAFIYYAH DI LAUTAN INDONESIA


Disusun Oleh :
Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
( Alumni S-2 Universitas Islam Madinah, KSA
dan Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah, KSA )


Alhamdulillah, Washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...


Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.


Umar bin Khaththab pernah berkata : Artinya : bermuhasabahlah intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab. ( HR. At tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini.


Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa, bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan tenggelam. Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh Rasulullah Shollollohu `Alaihi Wa sallam bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda : Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan (syariat ) allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal / bahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).


Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama, kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam permasalahan tersebut adalah :

1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar.

2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri.

3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.

4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh aliran-aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.

5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan.

6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama'.



Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut satu demi satu :



1 . Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar



Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama' –baik ulama'- terdahulu maupun ulama' zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya.


Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau tauhid asma' wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ?


Nah...inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam , tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dab du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya. Nah...kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat.


Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al-Baghdady dalam kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya).


Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al-Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah –termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna emohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh tersebut bernama : "Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" Penulis buku Manhaj dan Aqidah Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I), dan ketika beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu.



Dan diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka :"Sebutkan rukun-rukun sholat?"Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan berkata :"Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya". Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka : "Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi?", maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata : Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!, Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.


Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata : "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit".


Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!


Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.


Contoh lain : Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut, akan tetapi, sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.


Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang sedang ditahdsir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melalaikan ilmu.


Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian. Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah : Sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal hakikat.


Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam ini, adalah merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata "sholat" secara bahasa kata ini bermakna "doa", akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata "sholat", maka kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah –istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata "sholat"disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat.


Nah...sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?.Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata "tasyabbuh", apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-syarat, rukunrukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : "Tatkala Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak". (HR Bukhori dan Muslim)


Bukankah Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid'ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :

1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.

2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.

3. adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a'malu binniyaati / sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)



Sebagai contioh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh?



Yang lebih memilukan adalah nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf...dst?



Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang –menurut hemat saya- sampai saat ini di negri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:adalah sikap meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat.



Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata : "Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah.



Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar ( Lc ) yang ia peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah. Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : arangsiapa yang tidak memperoleh hal-hal yang prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu.



Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini : "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulma', tanpa mempelajari lmu-ilmu tersebut?" Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.



Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman", bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.



Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati olejh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll.



Imam An Nawawi berkata : "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir." ( Syarah Shohih Muslim 1/250 )



Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan dihaamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496).



Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama'ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.





2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri



Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam bersabda :Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslimah). Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam bergaul dan bermasyarakat, yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau bersikap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati nurani kita sendiri apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan yang akan saya lakukan ini?" Bila jawabannya adalah "Ya, saya suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya adalah "Tidak", maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.



Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negri kita, -terutama mrk yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya. Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh : Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah –tanpa terkecuali-, sumbangan berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal, dan kadang 500 reyal.


Nah...Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al-Haramain, juga menerima sumbangan tersebut ???!! Maka jawaban pertanyaan ini –dan saya tahu sendiri- adalah : "Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan".


Pasa beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah –yang sekarang ini dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal, mereka ditanya oleh salah seorang kawan : Kenapa kok mau menerima sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan sangat lugu berkata : "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".


Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini sudah berjalan beberapa periode sebelumnya. Dan yang mengherankan pula, setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang jatuh dari sakunya.


Contoh lain : Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al Jami'ah Al Islamiyyah , mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan secara kolektif dengan menggunakan kontainer (ini adalah awal pengiriman kitab dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah ). Pengiriman tersebut didanai oleh Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.



Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan Ihya `ut Turots : "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum; karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut Turots ?? Apakah Al Haramain & Ihya' at-Turots menjadi yayasan salafy, bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy / surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang selain antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"


Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana...., Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.


Oleh karena itu –menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim. Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata:Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm (perbuatan dosa), maka beliau bersabda:"Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim)



3. Kedudukan uang transportasi bagi seorang da’i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du’at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang transportasi.



Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi, apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda ? dan menurut yang saya ketahui- alternatif terakhir inilah yang terjadi, Uang transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya- misalnya Rp. 50.000,- akan tetapi amplop yang diterima berisikan- minimal Rp. 100.000,-

Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang tersebut, sebab para ulama’ semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah.



Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa ustadz yang- Alhamdulillah –telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan -Alhamdulillah pula- telah memiliki santtri yang cukup banyak, lebih mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren –terlebih-lebih undangan dari luar kota- dibandingkan mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya, kecuali bla sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit.



Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban mengajar diesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota? Bukankah para santri telah –walaupun sedikit- membayar SPP, sehingga telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh pesantren?



Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah di masyarakat sekitar lokasi pesantren?



Diantara kisah yang sampai kepada saya : Bahwa daerah-daerah yang masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf) berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin.



Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) –dikarenakan beberapa hal- menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan tersebut.



4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita yang dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu’tazili dll.

Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh tersebut.

Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu –karena kebodohan- saya juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah.



Marilah kita renungkan bersama ayat berikut : “Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kpdmu : “Kamu bukan seorang mu’min” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni’mat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” ( QS. An Nisaa’ : 94 )



Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin –ketika dalam keadaan peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh, yang menampakkan keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin, : “Engkau bukanlah seorang muslim, engkau mengucapkan salam hanya sekedar takut dibunuh” lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya.



Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da’i, dan ustadz, bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.



5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan

Allah Ta’ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masing-masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain.



Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan.



Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan tuntas.



Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat dan alasan kita.



Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini, sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita maka...mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari klaim:”Keras kepala, aqlani, menolak hadits,...hingga vonis mubtadi’”.



Sebagai contoh : Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan baik.



Oleh karena itu, saya mengajak para da’i, dan asatidzah untuk lebih banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan ahlul bid’ah.



6. Sikap kaku dan beku dalammenerapkan fatwa dan penjelasan para ulama

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan perantara penjelsan dan penafsiran para ulama’. Merekalah yang yang mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.



Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman, agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, yaitu :



1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai dengan pemahaman salafush sholih.

2. Pemahaman yang benar dan sempurn athd kasus dan permasalahan yang hendak ia hukumi



Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka -Insya Allah- fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi, bila salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalahpahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.



Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter. Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham terhadap realita yang ada pada zamannya., adalah lebih besar dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.



Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da’i, dan asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa tersebut ?



Sebagai contoh nyata ; Ada dari kalangan ulama’ salaf yang menegaskan: bahwa lebih baik bertetangga dengan kena kera dan babi, dibanding bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid’ah. Seharusnya sebelum kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita sama dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya memahami manhaj salaf?



Contoh lain : Para ulama telah sepakat, bahwa : Barangsiapa yang menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut, langsung kita hukumi sebagai orang kafir??



Imam Ahmad, beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala mengetahui bahwa Al Makmum (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad malah berkata : “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin kaum muslilmin (kholifah)”.

Contoh lain : Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan adalah berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid’ah, maka beliau berfatwa : “Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid’ah”, tentunya dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.



Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh beberapa glintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginksn, mulailah mereka mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.



Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan : bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri. Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.



Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.



Sikap ini –sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.



Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus tertentu, yaitu “Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, sesuai dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut”.



Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak katak dalam tempurung.



Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan alasan serta dalil, bahkan saya sangat mmengharapkan kritikan dan saran dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah dinegri kita.




SELESAI


ditulis ulang dari sebuah makalah 11 lembar yang berjudul “Bahtera Dakwah Salafiyah di Lautan Indonesia” yang disusun oleh Fadhilatul Ustadz Muhammad Arifin Badri, Lc, MA

( Madinah ,08 Sya’ban 1424 H / 04 Okt 2003)

dan disebarkan oleh “Tasjilat dan Maktabah Ibnu Taimiyah” Jl. Kresna No. 24, Pulosari Rt. 02 / Rw. 04 Kelurahan Gayam, Kec/Kab. Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, Indonesia


Transkrip Rekaman Terjemahan Ceramah Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu seputar Da’wah Salafiyah dan Bahayanya Manhaj Haddadiyah


--------------------------------------------------------------------------------

Bismillahi walhamdulillahi wash Sholatu was Salaamu ‘ala Rosulillah, wa Ba’d :

(Berikut ini merupakan bahasa penterjemah yang menterjemah kata perkata Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly pada saat Seminar Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah di Brooklyn, Ney York, yang ditranskrip oleh salah seorang ikhwan Amerika, bagi yang menghendaki kaset baik yang berbahasa Arab maupun Inggris silakan menghubungi QSS dan SSNA)

Syaikh Salim hafizhahullahu berkata,

“Perkara lain yang juga harus kita perhatikan adalah, bahwa kita memiliki beberapa syabab, yaitu para pemuda yang tidak kita ragukan keikhlasan mereka, namun kita ragukan metodologi mereka, atau kita mempermasalahkan cara atau manhaj mereka. Ada dari orang-orang ini yang mengumpulkan (mencari-cari) kesalahan para penuntut ilmu atau da’i (penyeru) dakwah ini. Mereka himpun setiap kesalahan yang akan diperbuat oleh para da’i atau penuntut ilmu ini , kemudian mereka menelpon masyaikh dan menceritakan kesalahan-kesalahan ini…

Ini adalah metode yang jelek, and orang-orang tersebut, sekali lagi saya katakan, saya tidak ragu dengan keikhlasan mereka, namun cara yang mereka pergunakan ini adalah tidak benar dan cara ini dapat merusak persaudaraan dan menjadikan hati saling bermusuhan antara satu dengan lainnya, baik diantara ahlul ilmi maupun masyarakat secara umum. Ini merupakan jalan yang buruk!!! Ini jalan yang rusak!! Oleh karena itu mereka seharusnya takut kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala!!!

Tidak!! Kelak mereka akan melihat kesalahan ini... mereka mengangkat telpon dan menghubungi Syaikh Rabi’, atau mereka menelpon Syaikh Ubaid al-Jabiri atau mereka menelpon orang lain yang seperti ini, setelah mereka mengumpulkan kesalahan-kesalahan (saudara mereka).

Mereka seharusnya takut kepaa Allah Tabaroka wa Ta’ala dan sadar bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala memperhatikan dan mengamati mereka... dan ketahuilah bahwa hal ini adalah perkara yang tidak benar, cara yang salah untuk dilakukan... hal ini merupakan jalan yang keliru di dalam melalui perkara ini.

Dan ada diantara mereka yang akan menggambarkan segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang sebagai hizbiyah. Suatu jama’ah atau para ikhwan yang sedang berkumpul di suatu ruangan dan berdiskusi dikatakan hizbiyah!!! Suatu jama’ah atau para ikhwan yang terlibat di dalam suatu yang mereka sepakati dikatakan hizbiyah!! Segala sesuatunya menurut mereka adalah hizbiyah!!!

Hal ini tentu saja… adalah cara yang salah di dalam memahamai suatu masalah... ini adalah metode yang keliru di dalam memahami suatu perkara. Mereka menghendaki supaya kita hanya berkumpul mengitari satu ulama saja, dan suatu pandangan yang dimiliki oleh ulama itu maka kita pun harus memegangnya, setiap pendapat yang diambilnya maka kita pun juga harus mengambilnya...

Kalian harus faham... bahwa salafiyah lebih luas daripada hal ini!!! Salafiyah lebih besar dari yang demikian ini!!! Salafiyah tidak dapat dimiliki oleh satu kelompok, suatu komunitas ataupun suatu jama’ah tertentu. Hal ini haruslah difahami karena hal ini telah melahirkan banyak kebingungan di dalam fikiran dan memecah belah hati serta menciptakan problematika yang mengerikan.

Perkara lain yang mereka lakukan adalah bersikap seperti ini... perkara-perkara ini... setelah mereka mengumpulkan kesalahan-kesalahan ini dan menyiarkan situasi keluar dari keadaannya. Meminta fatwa dari seorang syaikh karena (mereka tahu bahwa) syaikh tersebut hanya akan menjawab berdasarkan dari apa yang ia fahami. Maka syaikh itu akan menjawab dengan jawaban yang mereka kehendaki bahwa syaikh itu akan menjawab demikian. Karena, mereka mencari fatwa tertentu yang sebenarnya mereka kehendaki... mereka mencari fatwa tertentu yang sebenarnya sedang mereka inginkan....

Padahal ada beberapa hal... ada banyak hal, yang kalian tidak bisa memberikan fatwa yang tepat kecuali jika kalian benar-benar memahami situasi dan kondisi yang melingkupi permasalahan ini, dan inilah sesuatu yang tidak mereka sampaikan... inilah sesuatu yang tidak mereka sampaikan (kepada masyaikh)...!!!

Seorang penuntut ilmu bisa jadi melakukan suatu kesalahan atau bisa jadi memiliki beberapa keraguan (syubuhat) terhadap sesuatu... ini adalah suatu hal yang kita seharusnya memberikan waktu atau perhatian.... kita seyogyanya menunjukkan perhatian kita kepada saudara kita. Dan kita harus yakin menganggap saudara kita seperti... jika kita kehilangan satu dari saudara kita, bagaikan kehilangan sebagian tubuh kita... bagaikan ada suatu bagian dari tubuh kita yang terpenggal (putus) jika kita kehilangan salah satu saudara kita. Oleh karena itu kita... kita seharusnya lebih memperhatikan saudara-saudara kita dan kita tidak menginginkan saudara-saudara kita menjadi sesat dan kita juga tidak menghendaki saudara-saudara kita meninggalkan dakwah ini. Karena itulah... kita harus menunjukkan kepedulian kita terhadap mereka...

Ini adalah perkara yang penting yang harus difahami. Ini adalah perkara takwa. Orang-orang ini, yang melakukan cara-cara demikian ini... harus faham bahwa Allah melihat mereka. Harus sadar bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala maha mengetahui akan apa yang mereka perbuat. Mereka harus tahu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ”Barangsiapa yang mencari-cari kesalahan orang lain dan menyibakkannya, maka Allah Tabaroka wa Ta’ala akan membuka kesalahan-kesalahannya dan menyibakkannnya walaupun di tengah-tengah rumahnya sendiri. Walaupun di dalam rumahnya sendiri!!!” oleh karena itu tunggulah penyibakan dari Allah... seseorang tidak akan bisa lari dari adzab Allah. Apakah kita tidak tahu bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala melihat apa yang kita lakukan? apakah kita tidak tahu bahwa tidak ada suatu perkataan pun yang akan kita ucapkan melainkan dicatat? Yang mana Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman : ”Dan tidaklah dia berkata apa-apa melainkan ada yang mencatat”

Juga haruslah difahami bahwa dakwah salafiyah ini berdasarkan hujjah/dalil. Oleh karena itu, jika ada seorang penuntut ilmu tidak sepakat dengan pendapat ulama tertentu karena melihat bahwa dalil ulama ini tidak begitu kuat ataupun tidak meyakinkan dirinya, maka ini adalah suatu hal yang diperbolehkan untuk melakukan tarjih, mendengarkan ulama ini dan mendengarkan pula ulama lain, sembari mengatakan, ”Yang ini punya dalil (yang kuat) dan aku mengambilnya.” Bukannya malah bertaklid buta pada seorang individu dan menyetujui seorang individu pada setiap pernyataan yang dikatakannya tentang setiap orang atau setiap kelompok di muka bumi... ini yang harus kita fahami!!!

Perkara lain yang juga harus dihindari (ditinggalkan) adalah mendengarkan setiap orang yang berdakwah (untuk mencari-cari kesalahan atau ketergelinciran, pent)... Imam dan mujtahidnya muhadditsin, imam Jarh wa Ta’dil zaman ini, Syaikh Nashirudin al-Albani rahimahullahu, jika seseorang ada yang bertanya kepada beliau tentang orang lain, beliau senantiasa menjawab, ”Aku tidak dapat menjawabmu. Jika aku mengenalmu maka aku akan menjawabmu, jika aku mengenalmu aku akan menjawabmu.”

Jadi, sikap beliau adalah, beliau tidak akan berbicara tentang orang lain sampai beliau mengenal mereka. Hal ini dikarenakan beliau tidak mendengar dari segala penjuru dunia mengenai seseorang yang berbicara tentang sesuatu, dan bahkan beliau tidak mengenal siapakah individu-individu tersebut. Individu ini berbicara tentang individu lainnya yang mendukung dakwah dan menyeru kepada salafiyah, menyeru kepada yang haq selama bertahun-tahun, oleh karena itulah kita tidak mendengar ucapan-ucapan mereka ataupun menerimanya. Metode ini bukanlah metodenya Imam Jarh wa Ta’dil... ini bukanlah jalannya orang yang kita duduk di bawah kakinya dan mempelajari agama ini, orang yang kita tumbuh di dalam majlisnya (yaitu syaikh Albani, pent)

Ingatlah, hizbiyun telah mengetahui bahwa kejahatan mereka telah dibongkar, hizbiyun tahu bahwa kerusakan mereka telah disingkap. Oleh karena itu mereka sekarang menyusup diantara kita dan menghendaki supaya kita menjadi sibuk antara satu dengan lainnya, menginginkan kita tersibukkan antara satu dengan lainnya!!! Ahlus sunnah wal Jama’ah, yaitu mereka yang berada di atas manhaj salaf, seharusnya mereka bergandengan tangan bersama... seharusnya mereka bergandengan tangan bersama!!! Daripada kita sibuk di antara sesama, seharusnya kita berdakwah dan membantah hizbiyun, membantah sufiyun, membantah asy`ariyah dan membantah seluruh ahlul bid’ah. Namun anehnya, kita ini lebih senang mencari kesalahan saudara lainnya, mencari kesalahan antara satu dengan lainnya!!!

Tidaklah cukup kalian mengucapkan kebenaran saja, namun kalian juga harus berlaku adil. Jika kalian mengucapkan kebenaran di tempat yang tidak semestinya, maka ini termasuk ketidakadilan. Ini adalah perkara yang telah Allah tampakkan dengan shidq, kejujuran dan dengan keadilan. Jadi keduanya harus diperhatikan di sini.

Kalian mendapatkan ada diantara mereka membicarakan salafiyun, namun mereka diam terhadap seburuk-buruk ahlul bid’ah, diam terhadap seburuk-buruk manusia yang berada di atas kebatilan, seburuk-buruk orang yang berada di atas manhaj yang salah. Ini jelas adalah suatu hal yang tertolak.. ini merupakan situasi baru dan perkara baru yang akan dipergunakan hizbiyun untuk memecah belah hati salafiyun dan memecah belah antara ulama dan para penuntut ilmu… inilah yg harus kita sadari!!! Bahwa seseorang itu hendaknya memiliki kelembutan dan haruslah bersikap adil/lurus.

Ketika saya ditanya tentang seseorang yang saya ketahui bahwa dirinya adalah salafi, namun seseorang mengambil ucapannya keluar dari konteks, atau menyodorkan perkataannya yang mana perkataan ini lain dengan apa yang ia pegang, maka saya akan menjawab : ”Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini, jika saya tahu maka saya akan menjawabnya!” saya tidaklah melakukan hal ini karena takut... namun inilah manhaj!!! Inilah metodologi!! Dan inilah manhaj yang sebagaimana saya lalui dan saya telah tumbuh dengannya. Sikap yang harus kau ambil adalah sikap untuk Allah Tabaroka wa Ta’ala dan berdasarkan apa yang Rasulullah dan Allah Tabaroka wa Ta’ala cintai. Sikap inilah yang seharusnya diambil!!!

Walaupun saya pribadi telah memisahkan diri saya dari beberapa individu yang mereka adalah murid-murid syaikh Nashir, yang lebih dari 40 tahun bersama syaikh! (Maksud beliau adalah syaikh Ibrahim Syaqrah yang terpengaruh oleh benih fikrah quthbiyun dan menuduh syaikh Albani dengan irja’, pent) Iya, saya memisahkan diri saya dari mereka dan mengambil sikap melawan mereka ketika saya melihat ini adalah sikap yang harus saya ambil dalam rangka mendapatkan keridhaan Allah Tabaroka wa Ta’ala, dan berdasarkan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Kita memerlukan al-hilm dan kesabaran, sedangkan al-hilm ini memerlukan ilmu. Kita membutuhkan ar-Rifq (kelemahlembutan) dan ketenangan, dan mempergunakan waktu kita. Kita perlu untuk menerima pendapat saudara kita, yang mana kita adalah cermin bagi mereka. Jika saudara kita terkena suatu syubuhat dan masalah, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah menarik dirinya di sisi kita dan menasehatinya. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah berbicara kepadanya secara langsung, bertatap muka dan menasehatinya.

Aku memohon kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala agar mempersatukan kita di atas yang haq dan menyelamatkan kita dari kejahatan manhaj yang telah nampak diantara kita, walhamdulillah.

Aku akan memberikan kalian sebuah contoh dari sikap ketidakadilan dan manhaj (rusak) ini, yang aku berbicara tentang orang-orang yang mengumpulkan (mencari-cari) kesalahan, berdusta dan datang di tengah-tengah ulama. Kita sekarang ini berada di New York, yang kita tahu bertetangga dengan New Jersey. Apakah ada diantara kalian yang jahil tentang sikap dari masyaikh terhadap Abu Muslimah (salah seorang da’i Amerika yang terpengaruh hizbiyah dan membelanya)?

Saya yakin bahwa setiap orang di ruangan ini tahu bagaimana posisi Syaikh Usamah al-Qusy, Syaikh Muhammad Musa Nashr dan saya sendiri serta masyaikh lainnya terhadap Abu Muslimah... bahwa kami mentahdzir dirinya dan kami nyatakan bahwa dirinya adalah hizbi, kami memperingatkan manusia agar menjauhinya, dan kami robohkan bangunan (hizbi) yang sedang ia upayakan untuk ia bangun. Organisasi khabits (busuk) ini, organisasi jelek dan jahat ini, yang mana ia (Abu Muslimah) sedang berupaya untuk mendirikannya dengan memilih Amir bagi kelompok salafi tertentu, dan lainnya...

Setiap orang telah mengetahui posisi kami, bahwa kami mentahdzir darinya!!! mauqif (sikap), posisi dan pendapat kami adalah jelas. Namun masih ada saja beberapa orang yang pergi ke luar negeri, mereka berdusta dan menemui syaikh Rabi’, dan mengatakan bahwa kami menolong Abu Muslimah, kami menyokong Abu Muslimah dan menganggap dirinya sebagai salafi. Orang yang sama ini juga berbicara tentang QSS (Qur’an Sunnah Society), organisasi salafi pertama...organisasi salafi satu-satunya dan pertama di Amerika Utara... orang-orang ini berkata kepada syaikh Rabi’ bahwa QSS adalah sururi dan dijalankan oleh sururiyun, saya katakan : QSS adalah organisasi salafi bahkan sebelum orang ini menjadi muslim... yang mereka perlukan adalah menunggu dan Allah Tabaroka wa Ta’ala akan menyingkap hakikat mereka... Allah akan membongkar hakikat mereka!!!

Saya contohkan satu orang lagi dari Indonesia, namanya Ja’far Umar Tholib, yang mana dia adalah salah satu pimpinan (panglima) laskar di sana, yang menurut klaimnya, ia akan melakukan jihad atau apapun namanya… dia mampu menipu, berbohong atau melakukan apapun untuk mendapatkan rekomendasi dari syaikh Rabi’ dan syaikh Muqbil, semoga Allah menjaga mereka dan memelihara mereka dari kejahatan orang seperti (Ja’far) ini!!!

Kami pergi mengunjungi Indonesia dan yang kami kunjungi di sana adalah salafiyin (Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, pent). Orang ini (Ja’far) menolak dan mengatakan bahwa kami pergi mengunjungi sururiyin. Namun Allah Tabaroka wa Ta’ala menyingkap kedoknya sebagai seorang takfiri, sebagaimana seorang yang mengkafirkan seorang muslim lainnya!!! dan hal ini terjadi di salah satu pulau di Indonesia, salah satu dari pengikutnya jatuh kepada perbuatan zina, dan dia (Ja’far) pun merajamnya... dia menerapkan hudud atasnya dan merajamnya!!!

Demi Allah!!! Apakah ada seorang saja dari para ulama yang memperbolehkan seorang muslim yang tinggal di negeri kaum muslimin melakukan hal ini sendiri dan menerapkan hudud?!! Adakah diantara kalian yang mengetahui bahwa ada kaset atau ceramah ulama yang memperbolehkan hal ini?!! Mereka merajam orang ini dan akhirnya pemerintah menangkapnya...

Berhati-hatilah kalian dari karakter orang-orang yang seperti ini... karena mereka berada di antara kita. Mereka berusaha untuk menciptakan penyimpangan, mereka berupaya untuk memutuskan hati dan menciptakan kebencian diantara para penuntut ilmu dan kaum muslimin lainnya yang berada di atas manhaj salaf.

Inilah yang Allah sebutkan sebagai syaithan, dimana syaithan menyerah agar supaya dirinya disembah di jazirah Arab, namun (tatkala melihat dirinya tak mampu) maka syaithan berupaya membuat kebingungan, kehancuran dan masalah diantara kalian!!! Inilah yang mereka kehendaki.

Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu an Laa ilaaha illa Anta wa astaghfiruka wa aatubu ilaik.



Translator : Abu Hudzaifah

Sumber : Http://www.freewebs.com/manhajassalafee/Shaykh%20Saleem%20Speaks%20on%20the%20Contemporary%20Affairs.doc

Sekitar Hajr dan Pemboikotan



Oleh : Redaksi Majalah As-Asholah.

Alih bahasa : Muhammad Elvi Syam, Lc.





Hajr (pemboikotan) termasuk manhaj yang mendasar dari manhaj ahli Sunnah Wal Jamaah ? pengikut salaf dan ahli hadits ? untuk membantah orang-orang yang menyelisihi, sebagai sangsi terhadap ahli bidah, dan menghina kesalahan serta menolak kebingungan mereka.



Tatkala manhaj ini didirikan di atas tonggak yang kokoh, dan pondasi yang kuat, yaitu Al-wala ( berloyalitas ) di antara orang-orang mukmin dan Al-baro ( berlepasdiri ) dari orang-orang yang sesat dan menyimpang ( dari Agama ), maka haruslah meletakkan manhaj ini pada posisinya, tanpa mencampuradukkan di antara sebab-sebabnya.



Dalam masa-masa terakhir dari kehidupan kaum muslimin ini tampak di medan amal islami, gambaran yang aneh dan jauh dari Islam. Gambaran itu adalah tahazzub ( berpartai-partai), bergolong-golongan dan berkelompok-kelompok kecil. Hal ini menjadikan pemegang manhaj ini ( manhaj tahazzub) membuat dasar-dasar kaidah yang khusus untuk menjaga struktur dan keberadaan mereka. Dan untuk mengikat dan memelihara anggota-anggota mereka dari pemikiran-pemikiran yang masuk ke dalam kelompok mereka.



Anda akan melihat mereka, yang tidak mengijinkan anggota-anggotanya untuk bermajlis dengan penuntut-penuntut ilmu. Jika mereka mengijinkan, mereka membatasi anggota-anggotanya dengan batasan-batasan yang ketat. Apa bila mereka melihat perubahan pada pemikiran-pemikiran anggota-anggotanya, maka mereka pun melarang anggota-anggotanya itu untuk kembali datang ke majlis orang-orang yang memberi teguran tersebut ( penuntut-penuntut ilmu tadi ). Jika anggota-anggotanya bersikukuh ( bersikeras untuk datang ke majlis tersebut ), maka mereka mengeluarkan instruksi-instruksi untuk pemutusan hubungan dan hajr ( pemboikotan ).



Dalam makalah ini kami tidak mendiskusikan masalah hizbiyyah (fanatisme golongan ) dari akar-akarnya, - sebab sudah ada tulisan-tulisan yang khusus membahasnya- akan tetapi kami ingin melirikkan pandangan ke sekelompok manusia yang mencampuradukkan antara manhaj yang benar dengan manhaj yang bersifat terorisme di dalam masalah pemboikotan dan pemutusan hubungan ini.



Ya? Kami mengatakan terorisme, karena manhaj ini berdiri di atas teror pemikiran, yang tidak membiarkan sentuhan (kritikan) sekecil apapun terhadap salah seorang darin tokoh-tokoh yang diagungkan di kalangan mereka. Apakah sentuhan (kritikan) itu dengan kebenaran yang terang atau dengan kebatilan yang buruk. Maka dua hal ini tidaklah sama.



Di antara gambaran pemutusan hubungan dengan cara bathil (tidak sah) ini adalah :

Kalau sebagian orang menulis suatu tulisan atau buku, yang mana di dalamnya dia mengkritik suatu pemikiran, atau memperingatkan suatu kesalahan atau membenarkan suatu manhaj, maka hal tersebut menjadi pembuka pintu pergulatan pemutusan hubungan dari mereka, terhadap orang yang mengkritik dengan kebenaran ini. Sampai-sampai, miskipun yang mengkritik itu dari ahli sunnah dan para dainya.



Maka pintu-pintu pun tidak dibukakan untuknya!

Bahkan perkataan dan kedustaan pun disebarkan terhadap dirinya!

Bahkan tombak-tombak makar dan tuduhan pun dilontarkan ke dadanya!

Bahkan buku-buku dan tulisan-tulisannya dilarang!

Bahkan dia dihalangi dari rekan-rekannya dari kalangan dai dan penuntut ilmu!

Bahkan manusia pun diperingatkan (ditahzir) dan dijauhkan dari dirinya!



Hal ini merupakan manhaj yang jauh dari bersihnya persaudaraan islam dan jernihnya kejujuran kasih sayang syari. Bahkan itu merupakan pukulan terhadap intisari ukhuwah islamiyah, karena Nabi Muhammad - sholallahu alaihi wa sallam ? bersabda :



artinya : " Sekuat - kuat tali keimanan itu adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah ".



Karena, perbuatan tersebut merupakan cinta terhadap individu-individu dan benci karena pemikiran semata.



Sampai kapankah pilihan ummat ini ? mereka adalah para dai ? akan tetap menjadi tawanan (dikuasai) loyalitas hizby yang dibenci !!



Kapankah para dai ini akan keluar dari jurang yang dalam yang mereka menjatuhkan diri mereka sendiri ke dalamnya ?



Kapankah kaum muslimin akan bebas dari belenggu pengagungan individu-individu serta pengkultusannya, supaya mereka bisa terangkat dengan diri mereka sendiri menggapai ketinggian kebenaran dan petunjuk!



Kami mengira sesungguhnya manhaj pemutusan hubungan yang baru lagi tercela ini, mengingatkan kita akan gambaran pergulatan yang lama antara (keluhuran) ahli rayi bersama ahli hadits. Dan mengembalikan kita ke ring tipu muslihat (kezoliman) orang Asyari terhadap orang Hanabilah pada masa abad pertengahan.



Semoga Misk Khitam ( kata penutup dari majalah ) pada kesempatan kali ini merupakan jalan untuk perbaikan dan kemajuan, demi melangkah ke depan.



( Dari Majalah al-Asholah, edisi perdana 15 Rabiustani 1413 H, team redaksi adalah : syeikh Salim Ied Hilaali, syeikh Ali Hasan Abdul Hamid, Syeikh Muhammad Musa Nasr, dan Syeikh Masyhur Hasan)

SEBUAH KLARIFIKASI TENTANG HAJR (BOIKOT/ISOLIR), DAN HAKIKAT MUBTADI’

Dipetik dari nasehat para masyaikh kiram



Risalah ini bukanlah risalah untuk dijadikan ajang debat, namun adalah klarifikasi dan nasehat terutama bagi diri saya sendiri dan ikhwah salafiyyah lainnya. Saya katakan bahwa setiap orang yang meniti manhaj salaf, mencintai manhaj salaf dan ahlinya, dan senantiasa mengamalkan manhaj salaf, maka insya Allah dirinya adalah salafiy, selama dia tidak mengafiliasikan diri kepada individu-individu tertentu sebagai klaim representasi satu-satunya dari pengikut manhaj salaf, fanatik terhadap individu tertentu dan lebih mencintai individu tertentu daripada al-haq serta tidak mau menerima kebenaran darimanapun berasal.

Seorang yang bijak pernah berkata : al-Haqq la yu’rafi birrajuli war-Rajulu yu’rafu bil Haq (kebenaran tidak dikenal dari perseorangan namun seseorang dikenal dari kebenarannya). Maka tidaklah pantas seorang yang mengaku sebagai salafiy berta’ashub ria dengan ustadz-ustadznya, dan taqlidul a’ma dengan ucapan-ucapannya tanpa tabayun dan tatsabut.

Ikhwah Salafiyyin… di sini ana akan menukilkan sebuah permasalahan penting yang sekarang ini sedang berputar di sekitar kita, perkara yang besar namun telah menjadi kecil di hadapan kita, kita terlalu mudah dan asyik bermain-main dengan fitnah yang kebanyakan dari kita tidak layak masuk ke dalamnya apalagi menyibukkan diri dengannya… yang manfaatnya lebih kecil ketimbang mudharatnya. Na’am, perkara itu adalah seputar permasalahan hajr (boikot), tabdi’ (menvonis bid’ah) atau menuduh sururi karena salah faham dalam memahami muwaazanah…



Masalah Hajr (pemboikotan) dan Siapakah Mubtadi’ itu??

Saya sempat tersentak kaget ketika seorang ikhwan memper’tanya’kan risalah afsyus salam bainakum yang disusun oleh Syaikh Abdul Malik al-Qosim hafizhahullahu, dia mempertanyakan tentang perincian dari penerapan salam pada zaman ini dengan sikap ulama salaf terdahulu dalam mensikapi mubtadi’, yang diantaranya adalah tidak mau mengucapkan salam, menjawab salam, bermajlis, bahkan mendengarkan ucapan mereka. Perkara ini tidak jauh beda dengan kejadian ketika Fadhilatus Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alu Syaikh ditanya sebagaimana terekam di dalam kaset yang berjudul : Nashiihatu lisy Syabaab sebagai berikut :



Penanya : Syaikh barokallahu fiika, ada sebuah perkara yang di dalamnya banyak sekali perdebatan dan perkara itu adalah perkara hajr. Pertanyaannya : kapankah seorang mubtadi’ perlu dihajr dan siapakah yang berhak dihukumi hajr??

Syaikh : Selayaknya pertanyaannya juga harus menanyakan siapakah mubtadi’ itu, karena siapa yang berhak dihukumi bid’ah lebih utama ketimbang siapakah yang berhak dihajr. Adapun hukum hajr adalah disyariatkan, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr tiga orang sahabatnya yang tidak turut berperang –sebagaimana telah kalian ketahui- selama sebulan atau lebih, hal ini menunjukkan disyariatkannya hajr, yaitu demi agama dan demi kemaslahatan syar’i orang yang dihajr.

Nabi ‘alaihi sholatu wa salam dahulu pada zamannya bersama orang-orang yang gemar bermaksiat, orang-orang munafiq dan kaum musyrikin yang beraneka ragam. Beberapa orang yang bermaksiat dihajr oleh beliau dan beberapa lainnya lagi tidak. Demikian pula orang-orang munafik tidak beliau hajr. Hal serupa juga terhadap orang-orang musyrik dan nashrani, tidak beliau hajr.

Hal ini menunjukkan suatu kaidah yang ditetapkan oleh para ulama dan para imam muhaqqiqin (peneliti) dan disepakati oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di berbagai tempat (dari kitab-kitab beliau), yaitu bahwasanya hajr itu mengikuti mashlahat syar’iyyah. Maka orang-orang yang bermanfaat dihajr maka perlu dihajr dan yang tidak bermanfaat maka tidak perlu dihajr, karena hajr itu dimaksudkan untuk perbaikan, dan jika hajr tidak berfaidah mendatangkan kemaslahatan maka tidaklah disyariatkan, oleh karena itulah nabi tidak menghajr semuanya (orang-orang yang meninggalkan perang tabuk, pent.)

Hajr itu bisa dalam bentuk amalan, bisa juga dengan hati, atau bisa dengan meninggalkan salam atau meninggalkan menjawab salam, bisa dengan meninggalkan mengundang atau memenuhi undangan dan selainnya… maka hal-hal ini muqoyyad (terikat/tergantung) pada manfaat yang dihasilkannya.

Masalah kedua, tentang siapakah yang berhak dihukumi sebagai pelaku bid’ah? Menvonis bid’ah adalah hukum syar’i, dan menvonis orang yang mengamalkan bidah sebagai mubtadi’ adalah hukum syar’i yang berat sekali, karena hukum-hukum syar’iyyah yang menyangkut perseorangan/individu seperti kafir, mubtadi’ dan fasiq, maka tiap-tiap hukum ini adalah haknya ahlu ilmi (ulama). Sesungguhnya tidaklah lazim/harus antara kufur dengan kafir, dan tidaklah amalan kufur itu melazimkan pelakunya menjadi kafir, pasangan (tsanaa’iyyah) tidaklah saling melazimkan (mengharuskan) satu dengan lainnya. Demikianlah tidaklah setiap orang yang mengamalkan bid’ah maka ia adalah mubtadi’ dan tidaklah setiap orang yang melakukan kefasikan maka ia menjadi fasik dengan serta merta. Terkadang dikatakan, sesungguhnya dia kafir secara zhahir dipandang dari zhahirnya, dia fasiq secara zhahir, dia mubtadi’ secara zhahir, namun hal ini tidaklah berarti hukum mutlak, taqyid (mengikat) dengan zhahir tidaklah menghukumi secara mutlak sebagaimana telah ditetapkan pada beberapa tempat /pembahasan.

Menghukumi mubtadi’ dikarenakan seseorang mengucapkan perkataan mubtadi’ atau ucapan bid’ah bukanlah hak bagi setiap orang yang mengenal sunnah, namun hal ini adalah haknya ahlu ilmu, yang mana seseorang tidaklah dihukumi sebagai mubtadi’ melainkan setelah terpenuhinya syarat dan dihilangkannya penghalang, dan masalah ini dikembalikan kepada ahlu fatwa, karena memenuhi syarat dan menghilangkan penghalang adalah bagian mufti… (lihat : Masa`il fil Hajri wa maa yata’allaqu bihi : Majmu’atu min ba’dli asyrithoti asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Ali Syaikh, I’dad : Salim al-Jaza`iri, didownload dari maktabah sahab salafiyah, http://www.sahab.org)



Dari penjelasan nasehat Syaikh di atas, kita dapat beristifadah (memetik faidah) beberapa hal sebagai berikut :

Hajr adalah hukum syar’i yang terikat kepada mashlahat, jika membawa mashlahat maka perlu dilaksanakan hajr dan jika tidak, maka tidak perlu dijalankan hajr.
Hajr memiliki berbagai bentuk, baik dengan amalan, hati, menolak menjawab salam atau tidak mau mengucapkan salam, dls.
Hajr diterapkan kepada mubtadi’ dan pelaku maksiat (fasiq) juga melihat kepada mashlahat.
Perlu difahami siapakah yang dimaksud dengan mubtadi’, dan menvonis bid’ah adalah hukum syar’i hak para ulama dan tholibul ilmi mutamakkin (mumpuni) setelah terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang.


Untuk memperkuat penjelasan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, ana nukilkan juga penjelasan Samahatul Imam Abdulah bin Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu wa qoddasallahu ruuhahu sebagai berikut :



Samahatul Imam Abdullah bin Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu ditanya tentang bagaimana sikap seorang muslim yang berada di atas sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia memiliki hubungan erat (nasab) dengan kelompok yang mengamalkan bid’ah seperti menambah lafazh adzan dengan asyhadu anna ‘Aliyya waliyyullah dan hayya ‘ala khayril ‘amal, mengatakan bahwa keturunan Muhammad dan Ali adalah sebaik-baik keturunan, serta melakukan aqiqoh bid’ah di saat ada kerabat yang meninggal dengan memotong domba dan tidak menghancurkan tulangnya, namun tulang dan kotorannya dikuburkan dengan anggapan hal ini adalah baik dan wajib diamalkan. Beliau rahimahullahu juga ditanya apakah boleh menikahi mereka, berlemah lembut dengan mereka, menghadiri walimah-walimah mereka padahal mereka menunjukkan aqidah mereka secara terang-terangan dan mereka mengklaim bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan selain mereka adalah di atas kebatilan.

Syaikh rahimahullahu pertama menjawab tentang bid’ahnya lafazh adzan dan aqiqoh bid’ah di atas, kemudian beliau menjawab tentang bagaimana sikap muslim yang berada di atas sunnah di dalam mensikapi mereka sebagai berikut :

“Jika aqidah mereka adalah sebagaimana yang dikemukakan di dalam pertanyaan sebelumnya, namun dengan tetap mensepakati ahlus sunnah di dalam tauhidullah subhanahu wa Ta’ala dan mengkihlaskan ibadah hanya untuk-Nya semata tanpa mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik dengan ahlul bait atau selainnya, maka tidaklah mengapa menikah dengan mereka, memakan sembelihan mereka dan berkumpul di (menghadiri) walimah-walimah mereka. Kita menyayangi mereka sebatas kebenaran yang ada pada mereka dan kita membenci terhadap kebatilan yang mereka miliki, karena sesungguhnya mereka adalah kaum muslimin yang terhimpun pada mereka sesuatu dari kebid’ahan dan kemaksiatan yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam. Maka wajib menasehati dan mengarahkan mereka kepada as-Sunnah dan al-Haq, serta memperingatkan mereka dari kebid’ahan dan kemaksiatan. Jika mereka berlaku lurus dan menerima nasehat, falhamdulillah, maka inilah yang dituju/dikehendaki. Jika mereka masih bersikeras dengan bid’ah-bid’ah yang disebutkan di pertanyaan tadi, maka wajib menghajr mereka dan tidak boleh menghadiri walimah-walimah mereka hingga mereka mau bertaubat kepada Allah dan meninggalkan kebid’ahan dan kemunkaran. Sebagaimana Nabi shallahu ‘alaihi wa Sallam menghajr Ka’ab bin Malik al-Anshari dan dua orang rekannya yang tidak turut berperang di perang Tabuk tanpa udzur syar’i. Namun jika seseorang memandang bahwa tidak menghajr teman atau tetangganya adalah lebih bermaslahat dan bercampur dengan mereka serta menasehati mereka lebih dekat dengan penerimaan mereka kepada kebenaran, maka tidak terlarang meninggalkan hajr. Karena tujuan dari hajr adalah mengarahkan mereka kepada kebaikan atau mensyiarkan ketidakridhaan terhadap kemungkaran agar mereka mau kembali (ruju’) dari kemungkaran tersebut.

Jika sekiranya hajr akan merusak maslahat Islami dan makin menambah mereka semakin berpegang dengan kebatilan mereka dan lari dari ahlul haq, maka meninggalkan hajr lebih bermaslahat, sebagaimana nabi meninggalkan hajr kepada Abdullah bin Ubai bin Salul, pimpinan kaum munafikin, yang nabi tidak menghajrnya adalah demi kemaslahatan kaum muslimin.

Namun, jika kelompok ini menyembah ahlul bait seperti Ali, Fathimah, Husain atau Hasan rahimahumullahu, atau mempersembahkan do’a kepada mereka, beristighotsah dan memohon pertolongan atau semacamnya kepada mereka, atau meyakini bahwa mereka mengetahui perkara yang ghaib atau semacamnya dari amalan-amalan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, maka sesungguhnya mereka dan perkara-perkara yang disebutkan di atas adalah kafir. Tidak boleh menikahi mereka, tidak pula mengasihi mereka, memakan sembelihan mereka, bahkan wajib membenci dan berlepas diri dari mereka, hingga mereka beriman kepada Allah Ta’ala semata…”

Lantas syaikh menyebutkan dalil-dalil pengharaman syirik, dan beliau rahimahullahu melanjutkan jawabannya :

“Adapun klaim mereka bahwa mereka adalah al-Firqoh an-Najiyah dan merekalah yang berada di atas kebenaran, dan orang-orang selain mereka adalah berada di atas kebatilan. Maka jawabannya adalah : tidaklah setiap orang yang mengklaim sesuatu maka klaimnya telah bebas/selamat (dari cacat, pent.), namun haruslah klaim itu disertai burhan (bukti-bukti yang nyata) yang mendukung klaimnya. Sebagaimana firman Allah sunhanahu : “Katakanlah, datangkan bukti-buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS al-Baqoroh : 111)…” dst hingga akhir jawaban beliau… (Lihat : al-Ajwibah al-Mufiidah ‘an Ba’dli Masa`ilil Aqidah, diterbitkan oleh : Ri`aasah al-idaaroh al-Buhuts al-Ilmiyyah wal Iftaa’, cet. III, 1422/2002, Riyadh, hal. 25-31)



Dari penjelasan Samahatul Imam rahimahullahu di atas, kita bisa beristifadah beberapa hal sebagai berikut :

1. Pelaku bid’ah yang tidak sampai mengkafirkan, boleh dinikahi, memakan sembelihannya dan menghadiri walimah mereka.

2. Kita berwala’ kepada mereka sebatas kebenaran yang ada pada mereka dan membenci sebatas kebatilan yang ada pada mereka.

3. Pelaku bid’ah hendaknya dinasehati dan diarahkan terlebih dahulu kepada sunnah dan al-Haq.

4. Hajr dilakukan selama mendatangkan maslahat syar’i.

5. Wajib menghajr pelaku bid’ah jika mereka masih bersikeras dengan bid’ahnya dan menolak nasehat selama hajr tersebut mendatangkan maslahat.

6. Boleh tidak menghajr mereka, bercampur dan menasehati mereka, jika hal ini lebih mendatangkan maslahat dan manfaat.



Demikian pula apa yang diterangkan oleh Faqiihuz Zaman, Samahatus Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullahu. Beliau berkata :



“Adapun menghajr ahlul bid’ah itu bergantung pada bid’ahnya. Jika bid’ahnya merupakan bid’ah yang mukaffirah (mengkafirkan), maka menghajr mereka adalah wajib. Namun jika bid’ahnya lebih rendah dari pada itu, maka perlu dilihat : jika hajr terhadap mereka akan mendatangkan maslahat maka kita lakukan, namun jika tidak mendatangkan maslahat maka kita tinggalkan. Hal itu dikarenakan pada dasarnya menghajr seorang mukmin itu haram hukumnya. Berdasarkan sabda Nabi : “Tidak halal bagi seorang mukmin menghajr saudaranya lebih dari tiga hari”. Maka setiap mukmin, walaupun ia seorang yang fasiq, haram menghajrnya selama tidak mendatangkan faidah. Namun jika bermaslahat maka kita lakukan. Karena hajr adalah obat, jika hajr tidak mempunyai maslahat atau justru malah menambah kemaksiatan dan kedurhakaan, maka sesuatu yang tidak bermaslahat meninggalkannya adalah maslahat.“ (lihat ash-Shohwah Islamiyyah Dlawabith wa Taujihat (terj.) Panduan Kebangkitan Islam, pent. Muhammad Ihsan, Darul Haq, hal. 109-110).

Syaikh ditanya (idem, hal. 228-229) : “Apakah boleh menghajr para du’at disebabkan perbedaan mereka dalam ushlub dakwah?”

Syaikh menjawab : “Saya katakan : Tidak boleh terjadi hajr diantara mukminin, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak halal bagi seorang mukmin menghajr saudaranya lebih dari tiga hari”, walaupun ia melakukan kemaksiatan maka tidak boleh menghajrnya, kecuali jika mengandung maslahat, seperti ia akan meninggalkan maksiat tersebut. Oleh karena itu nabi menghajr Ka’ab bin Malik dan kedua sahabatnya ketika mereka tidak turut dalam perang Tabuk. Maka, apabila menghajr orang-orang fasik itu mengandung maslahat yang kuat, maka mereka boleh dihajr. Namun jika tidak bermaslahat maka mereka tidak boleh dihajr. Ini berkaitan dengan orang fasik secara umum. Adapun para du’at di jalan Allah, maka tidak sepatutnya, bahkan tidak boleh mereka saling menghajr hanya karena perbedaan ushlub dakwah. Tetapi hendaknya setiap mereka mengambil manfaat dengan cara yang lain bila ternyata cara itu lebih mengena dan bermanfaat.”



Berikut ini saya nukilkan pula penjelasan Samahatul Imam al-Muhaddits al-Ashr, Muhammad Nashirudin al-Albany rahimahullahu dalam kaset haqiqotul bid’ah wal kufri dari Silsilah Huda wa Nur yang direkam oleh murid beliau Abu Laila al-Atsari (beliau adalah murid sekaligus perekam Syaikh yang senantiasa menyertai dan merekam muhadharah Syaikh)



Penanya : Apa pendapatmu –wahai syaikh- tentang orang-orang yang tidak memperbolehkan tarahum (Mendoakan rahmat kepada seorang yang telah meninggal dengan ucapan rahimahullahu Pent.) terhadap orang-orang yang menyelisihi ‘i’tiqad salaf seperti an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqolani, Ibnu Hazm dan Ibnul Jauzi serta orang-orang yang semisal mereka dari (ulama) salaf. Juga tokoh-tokoh kholaf (kontemporer) seperti al-Banna dan Sayyid Quthb. Mengingat anda telah mengetahui dengan baik apa yang ditulis oleh Hasan al-Banna dalam bukunya Mudzakkirat ad-Da’wah wad-Da’iyah dan Sayyid Quthb dalam bukunya Fi Zhilalil Qur’an??

Syaikh : Kami berkeyakinan bahwa rahmat dan tarahum diperbolehkan bagi seluruh muslim dan diharamkan bagi seluruh orang kafir. Jawaban ini merupakan furu’ (cabang) dari i’tiqad yang dimiliki oleh jiwa seseorang. Jadi, barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang yang disebutkan dalam pertanyaan tadi adalah muslim, maka jawabannya adalah telah diketahui –sebagaimana yang telah saya katakan barusan- yaitu boleh mendoakan ‘semoga Allah merahmati dan mengampuni mereka’. Dan siapapun yang menganggap bahwa mereka yang disebut dalam pertanyaan tadi adalah bukan muslim, maka tarahum tidaklah diperbolehkan. Inilah jawabanku berkenaan dengan apa yang datang dari pertanyaan tadi.

Penanya : Mereka mengatakan bahwa hal ini termasuk manhaj salaf, dimana mereka (salaf sholih, pent.) tidak melakukan tarahum terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah). Konsekuensinya, orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi dianggap sebagai mubtadi’ dan mereka tidak melakukan tarahum kepada mereka.

Syaikh : Kami telah katakan tadi, bahwa rahmat atau tarahum diperbolehkan bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi seluruh orang kafir. Jika ini benar, maka pertanyaan kedua tadi tidak memiliki dasar. Jika ini tidak benar, maka (pertanyaan kedua tadi) memiliki dasar untuk didiskusikan. Bukankah mereka yang telah dihukumi oleh sebagian ulama sebagai mubtadi’, mereka tetap disholati? Dan termasuk I’tiqod salaf yang disepakati oleh kholaf adalah, bahwa kita sholat di belakang muslim yang shalih sebagaimana pula kita shalat di belakang muslim yang fajir, kita juga menshalati orang yang shalih maupun yang fajir. Adapun orang kafir –di sisi lain- tidak boleh disholati. Oleh karena itu, orang yang disebutkan dalam pertanyaan –mau tidak mau- disebut sebagai ahlul bid’ah. Lantas haruskah mereka disholati ataukah tidak?. Saya sebenarnya tidak berkeinginan mendiskusikan hal ini melainkan karena terpaksa. Jika jawabannya adalah mereka harus disholati, maka jawabannya selesai sampai di sini. Pembahasan telah selesai dan tak ada lagi tempat untuk mendiskusikan pertanyaan kedua tadi, sebagaimana yang akan dilakukan oleh nuhat (ahli nahwu). Jika tidak boleh mensholatinya, maka kesempatan untuk diskusi terbuka dan dapat dilanjutkan…

Penanya : Jika dikatakan, kita tidak mensholatinya dikarenakan mereka termasuk mubtadi’! Lantas apakah jawabanmu?

Syaikh : Apa dalilnya?

Penanya : Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil, dan mereka membedakan antara ahlul maksiat dengan ahlul bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Para salaf terdahulu, mereka tidak mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajlis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan ini mereka membangun dakwaannya.

Syaikh : Pertanyaannya tadi apa?

Penanya : Kita menshalati mereka ataukah tidak?

Syaikh : Tidak! anda meluaskan jawaban anda dari pertanyaanku tadi dan anda kehilangan maksud dari pertanyaanku. Pertanyaanku tadi adalah, ‘apa dalilnya?’ Dan anda menjawab dengan dalil ‘dakwaan’. Padahal dakwaan tidak sama dengan dalil. Sedangkan anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.

Penanya : Tidak ada dalil –ya syaikh-, mereka beragumentasi dengan amalan para salaf.

Syaikh : Apakah amalan salaf itu dalil?

Penanya : Itu yang mereka dakwakan.

Syaikh : Manakah dalil dari dakwaan ini?

Penanya : Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.

Syaikh : Bukankah para ulama melakukan muqotho’ah (pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan? Lantas, apakah ini artinya mereka menghukuminya sebagai kafir?

Penanya : Tidak.

Syaikh : Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki pendapat/sikap pertengahan antara muslim dan kafir. Jika mereka ini muslim maka diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir diperlakukan sebagaimana kafir. Kita tidak memiliki pendapat pertengahan sebagaimana pendapatnya mu’tazilah, yang menyatakan ada tempat diantara dua tempat (manzilah baina manzilatain) –yaitu diantara muslim dan kafir-. Selanjutnya, semoga Allah memberkahimu, hal ini murni merupakan pendapat belaka –yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum-. Ini merupakan pendapat belaka yang diusung oleh para pemuda yang multazim (berpegang dengan sunnah) yang mengambil beberapa perkara dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Saya telah menunjukkan pada anda suatu hakikat yang tidak mungkin dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia seorang muslim, menurut dari apa yang dia zhahir (tampak)-kan maka ia disholati, bahkan –sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani, serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti biji dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan tentang hal ini.

Kendati demikian, jika ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim –atau para ulama tidak mau menshalatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah tidak boleh. Hal Ini menunjukkan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan menunjukkan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi oleh orang selainnya. Sebagamana kisah dalam sebuah hadits –yang harus kau ingat- di saat nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda dalam beberapa riwayat, “Shalatilah sahabatmu ini!”, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Apakah nabi, yang tidak turut mensholati seorang muslim ini yang lebih utama (dijadikan dalil, pent.) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim yang lebih utama??

Penanya : Penolakan Nabi yang lebih utama!

Jawaban : hasanan! (anda benar). Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam-lah yang lebih utama. Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menshalati muslim tadi tidaklah menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan ketidakbolehan mensholatinya. Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan. Apakah hal ini berarti seorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya –berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih muslim-.

Singkatnya, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan menshalatkan mereka. Mereka melakukan hal ini (tidak turut menshalati) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan –si mayit- agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran yang benar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam terhadap seorang yang tidak dishalatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak menshalatinya? Penyebabnya adalah dia menyimpan beberapa bagian dari ghanimah untuk dirinya sendiri. Penolakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mensholatinya adalah lebih utama daripada penolakan para ulama salaf yang melakukan hal ini. Namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah. Dari sini, perlu diteliti untuk mengetahui siapakah mubtadi’ itu dan siapakah kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul pada pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan kafir dengan serta merta ia menjadi kafir? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak?

Penanya : Tidak!

Syaikh : Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci. Apakah yang dimaksud dengan bid’ah? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan maksud menambah kedekatannya (taqarub) kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi'?

Penanya : tidak

Syaikh : Lantas siapakah mubtadi' itu?

Penanya : Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan dan ia tetap bersikeras melaksanakan kebid’ahannya.

Syaikh : Ahsan. Jadi, orang yang disebutkan –dalam pertanyaan pertama tadi- yang dinyatakan tidak boleh tarahum terhadap mereka, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka? Allahu a’lam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka? Apakah mereka muslim atau kafir?

Penanya : Muslim.

Syaikh : Prinsip dasarnya adalah mereka muslim. Oleh karena itu, diperbolehkan tarahum terhadap mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah diperbolehkan kita memohon maghfirah dan rahmat kepada mereka. Bukankah ini masalahnya? Jadi permasalahan ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu pendapat bahwa tarahum terhadap fulan dan fulan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin, tidak boleh baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik). Mengapa? Karena dua alasan yang tersimpulkan dari ucapanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah kalaupun seandainya kita tahu mereka adalah pelaku bid’ah, kita tidak tahu apakah hujjah telah ditegakkan ataukah belum, dan apakah mereka bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak. Karena itu, saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, dikarenakan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari. Konsekuensinya, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak pula menghukumi mereka sebagai mubtadi’, dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur'an dan as-Sunnah (dengan madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent..)

Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri (madzhab ahlus sunnah, pent.). Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (para pemuda yang semangat tadi, pent.) adalah, bahwa mereka adalah muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah, serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar akan hal ini, kita akan terhindar dari masalah yang merebak dewasa ini… (Sumber : Transkrip kaset Haqiqotul Bid’ah wal Kufri, Silsilah Huda wa Nur, rekaman : Abu Laila al-Atsari, transkrip dan terjemah ke Inggris oleh : Abu Aminah Bilal Philips (lihat : http://www.siraat.org/)



Untuk menyempurnakan faidah, silakan baca Nasehat Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili terbaru tentang perkara. Silakan dibaca dan difahami. Janganlah kita menjadi manusia-manusia muta’aalim dan membuang nasehat-nasehat berharga para masyaikh kiram. Dan telaahlah kembali nasehat Syaikh Rabi’ yang berjudul al-Hatstsu ’alal Mawaddah wal I’tilaaf, ambillah faidahnya dan sibukkan diri dengan perkara-perkara yang bermanfaat. Kemudian juga yang terpenting adalah, fahamilah nasehat Syaikh al-Walid baqiyatu salaf fi hadzal ashr (sisa salaf yang masih hidup saat ini) dalam dua risalah beliau yang berjudul Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah dan al-Hatstsu ‘ala ittiba’is Sunnah wa Tahdzir minal Bida’ wa bayaanu khatariha.



Faidah Penting dari nasehat masyaikh di atas dan kaidah utama ahlus sunnah dalam perkara ini adalah :

1. Mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali mengklaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezhaliman pelaku kesalahan dengan kezhaliman. Akan tetapi metode membalas kezhaliman dengan kezhaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.

2. Hajr (boikot/isolir) terkait erat dengan maslahat yang terkandung di dalamnya. Jika tidak bermaslahat maka janganlah diterapkan dan jika bermaslahat maka hendaklah diterapkan sesuai dengan keadaan dan kondisinya.

3. Laysa man waqo’a fil bid’ah waqo’at bid’atu ‘alaihi. Tidaklah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta orang tersebut menjadi mubtadi’!!! menvonis bid’ah adalah hak ahlul ilmi setelah terpenuhinya syarat dan hilangnya penghalang.



Untuk menyempurnakan faidah, Saya nukil di sini pernyataan Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad dalam Rifqonnya :



“Sebahagian Ahlus Sunnah pada masa ini ada yang kebiasaan dan kesibukkannya mencari-cari dan menyelidiki kesalahan-kesalahan baik lewat karangan-karangan atau lewat kaset-kaset, kemudian mentahdzir (peringatan untuk dijauhi) barangsiapa terdapat darinya suatu kesalahan, bahkan diantara kesalahan tersebut yang membuat seseorang bisa dicela dan ditahdzir disebabkan ia bekerja sama dengan salah satu badan sosial agama (jam’iyaat khairiyah) seperti memberikan ceramah atau ikut serta dalam seminar yang dikoordinir oleh badan sosial tersebut, padahal syeikh Abdul Aziz bin Baz dan syeikh Muhammad bin sholeh Al ‘Utsaimin sendiri pernah memberikan muhadharah (ceramah) terhadap badan sosial tersebut lewat telepon, apakah seseorang layak untuk dicela karena ia melakukan satu hal yang sudah difatwakan oleh dua orang ulama besar tentang kebolehannya. Lebih baik seseorang menyalahkan pendapatnya terlebih dulu dari pada menyalahkan pendapat orang lain, terlebih-lebih apabila pendapat tersebut difatwakan oleh para ulama besar, oleh sebab itu sebagian para sahabat Nabi saw selepas perjanjian Hudaybiah berkata: “Wahai para manusia!, hendaklah kalian mengkoreksi pendapat akal (ar-Ro’yu) bila bertentangan dengan perintah agama”. Bahkan diantara orang-orang yang dicela tersebut memiliki manfa’at yang cukup besar, baik dalam hal memberikan pelajaran-pelajaran, atau melalui karya tulis, atau berkhutbah, ia ditahzir cuma karena gara-gara ia tidak pernah diketahui berbicara tentang si fulan atau jama’ah tertentu umpamanya, bahkan celaan dan tahdzir tersebut sampai merembet ke bagian yang lainnya di negara-negara arab dari orang-orang yang manfa’atnya menyebar sangat luas dan perjuangannya cukup besar dalam menegakkan dan menyebarkan Sunnah serta berda’wah kepadanya, tidak ragu lagi bahwa mentahdzir orang seperti mereka tersebut adalah sebuah tindakan menutup jalan bagi para penuntut ilmu dan orang-orang yang ingin mencari faedah dari mereka dalam mempelajari ilmu dan akhlak yang mulia.” (Dinukil dari Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah (terj) berlemah lembut sesama Ahlus Sunnah, pent. Ust. Abu Hasan Ali Misri Semjan Putra, Mahasiswa S-3 Universitas Islam Madinah).



Janganlah ada diantara anda merasa berat hati menerima nasehat syaikh al-Abbad dalam risalah rifqon­ beliau. Karena, nasehat beliau ini adalah beliau tujukan kepada generasi ahlus sunnah, dan saya bidikkan nasehat ini kepada ikhwah salafiyah. Saya yakin bahwa kita semua menghendaki ishlah dan persatuan… namun akankah persatuan ini dicapai jika kedengkian masih melekat di sanubari kita, tajrih (gemar mencela) dan tanfir (membuat orang lari dari kebenaran) menjadi ciri khas kita, syiddah (kekerasan) dan ‘anfah (kebengisan) telah menjadi bagian manhaj kita, ta’ashub dan taqlidul a’ma masih menjadi rutinitas kita, keras kepala, egois dan ingin menang sendiri telah menjadi bagian jiwa kita, mentazkiyah diri sendiri dengan menyatakan sebagai satu-satunya salafiy yang haq serta tidak lapang dada dalam khilaf yang memang masih diperbolehkan khilaf di dalamnya masih melekat pada kepala kita, maka sungguh jauh angan kita tercapai…



Naqqil fu`adaka haytsu syi’ta minal hawa

Mal hubbu illa lihabiibil awwali

Kam min manzilin ya’lafuhul fataa

Wa haniinuhu illa lihabiibil awwali

Kau bawa serta hawa nafsumu kemana saja kau berada

Tidaklah rasa cinta melainkan kepada kekasih pertama

Betapa banyak persinggahan dilewati para pemuda

Namun kerinduannya hanyalah pada persinggahan pertama



Ihya’us Sunnah ITS, 19 Muharam 1426 H, 16.10 WIB

Akhukum Fillah

Abu Salma bin Burhan at-Tirnaatiy
FAIDAH KISAH

WANITA YANG MASUK NERAKA KARENA SEEKOR KUCING



Oleh : Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqor





Hati yang keras dan tabiat yang buruk bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam Neraka. Hal itu karena ia kosong dari kasih sayang yang membuatnya tidak peduli terhadap apa yang dia lakukan kepada orang lain, maka ia membunuh, memukul dan merusak. Dengan itu, mereka mencelakakan diri mereka disebabkan oleh apa yang mereka lakukan kepada orang lain. Di antara mereka ada seorang wanita yang diceritakan oleh Rasulullah. Dia mengurung seekor kucing sampai ia mati kelaparan dan kehausan. Karena perbuatan itu dia pun masuk Neraka.



NASH HADITS

Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi bersabda, "Seorang wanita masuk Neraka karena seekor kucing yang diikatnya. Dia tidak memberinya makan dan tidak membiarkannya makan serangga bumi."

Dalam riwayat di Bukhari, "Seorang wanita disiksa karena seekor kucing yang dia kurung sampai mati. Dia masuk Neraka karenanya. Dia tidak memberinya makan dan minum sewaktu. Mengurungnya. Dia tidak pula membiarkannya dia makan serangga bumi."

Rasulullah telah melihat wanita yang mengikat kucing ini berada di Neraka manakala beliau melihat Surga dan Neraka pada shalat gerhana. Dalam Shahih Bukhari dari Asma binti Abu Bakar bahwa Rasulullah bersabda, "Lalu Neraka mendekat kepadaku sehingga aku berkata, 'Ya Rabbi, aku bersama mereka?' Aku melihat seorang wanita. Aku menyangka wanita itu diserang oleh seekor kucing. Aku bertanya, 'Bagaimana ceritanya?' Mereka berkata, 'Dia menahannya sampai mati kelaparan. Dia tidak memberinya makan dan tidak pula membiarkannya mencari makan." Nafi' berkata, "Menurutku dia berkata, 'Mencari makan dari serangga bumi."

Muslim meriwayatkan dari Jabir hadits Rasulullah yang melihat seorang wanita yang mengikat kucing berada di Neraka. Di dalamnya terdapat keterangan bahwa wanita itu berasal dari Bani Israil. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa wanita itu berasal dari Himyar.



TAKHRIJ HADITS

Hadits tentang kucing dalam Shahih Bukhari dalam Kitab Bad’il Khalqi, bab”Jika lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang dari kalian” (VI/356), no. 3318. Dan dalam Kitab Ahaditsil Anbiya’, no. 3482. Dan dalam Kitabul Musaqah, bab keutamaan memberi minum, 5/41, no. 2365.

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar dalam Kitabus Salam, bab ”Diharamkannya membunuh kucing” (4/1760, no. 2242-2243).

Hadits tentang Rasulullah melihat seorang wanita yang mengikat kucing diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dalam Kitabul Adzan dan Asma' binti Abu Bakar (2/231, no. 745) dan Kitabul Musaqah Abdullah, keutamaan memberi minum air (5/41) no. 2364.

Adapun riwayat Muslim tentang Rasulullah melihat wanita yang menyiksa kucing terdapat dalam Kitabul Kusuf, bab apa yang diperlihatkan kepada Rasulullah dalam shalat Kusuf, 2/622, no. 904.





PENJELASAN HADITS

Ini adalah kisah wanita Himyariyah Israiliyah yang mengurung seekor kucing, tetapi dia tidak memberinya makan dan minum hingga kucing itu mati karena kelaparan dan kehausan. Ini menunjukkan kerasnya tabiat wanita itu, betapa buruk akhlaknya, serta tiadanya belas kasih di hatinya. Dia sengaja menyakiti. Jika di hatinya terdapat belas kasih, niscaya dia melepaskan kucing itu. Dan sepertinya dia mengurungnya sepanjang siang dan malam. Ia merasakan haus dan lapar dengan suara yang memelas meminta bantuan dan pertolongan. Suara dengan ciri tersendiri yang dikenal oleh orang-orang yang mengenal suara. Akan tetapi, hati wanita ini telah membatu dan tidak terketuk oleh suara pilu kucing itu. Dia tidak menghiraukan harapan dan impiannya. Suara itu melemah, lalu seterusnya menghilang. Kucing itu mati. Ia mengadu kepada Tuhannya tentang kezhaliman manusia yang hatinya keras dan membatu.

Jika wanita ini ingin agar kucing ini tetap di rumahnya, dia mungkin saja memberinya makan dan minum yang bisa menjaga hidupnya. Rasulullah telah menyampaikan kepada kita bahwa kita meraih pahala dengan berbuat baik kepada binatang. Jika dia enggan memberinya makan yang menjaganya dari hidup, maka dia harus melepasnya dan membiarkannya bebas di bumi Allah yang luas. Ia pasti mendapatkan makanan yang bisa menjaga hidupnya. Lebih-lebih, Allah telah menyediakan rizki bagi kucing tersebut dari sisa-sisa makanan orang, begitu pula serangga-serangga yang ditangkapnya.

Perbuatan ini telah mencelakakan wanita tersebut, sehingga dia masuk Neraka. Rasulullah melihat kucing itu memburu wanita yang menahannya di Neraka. Bekas-bekas cakaran tergores di wajah dan tubuhnya. Beliau melihat itu manakala Surga dan Neraka diperlihatkan kepadanya pada saat shalat gerhana.



PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADITS



1. Besarnya dosa orang-orang yang menyiksa binatang dan menyakitinya dengan memukul dan membunuh. Wanita ini masuk Neraka karena dia menjadi sebab kematian seekor kucing.

2. Boleh menahan binatang seperti kucing, burung, dan sebagainya, jika diberi makan dan minum. Jika tidak mampu atau tidak mau, maka hendaknya melepaskannya dan membiarkannya pergi di bumi Allah yang luas untuk mencari rizkinya sendiri.

3. Di Akhirat, manusia diadzab sesuai dengan perbuatannya di dunia. Wanita ini diserang oleh seekor kucing di Neraka dengan mencakari tubuhnya.



Dialihbahasakan dari Shohih al-Qoshosh karya DR. Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqor (Dosen Fakultas Syari’ah Universitas Yordania)



NASEHAT SYAIKH IBRAHIM AR-RUHAILI KEPADA GENERASI MUDA SALAFIYUN



Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Amma ba’du:

Berikut ini adalah untaian nasehat yang ditujukan kepada generasi muda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, yang dituliskan dalam rangka andil dalam menunaikan kewajiban menasehati kaum muslimin, dan mendamaikan antara Ahlis Sunnah, sebagaimana yang dianjurkan dalam banyak dalil.

Yang mendorong saya merangkaikan nasehat ini, adalah fenomena yang dialami oleh banyak pemuda salafiyyin, di berbagai negri islam, dan bahkan di negri-negri non islam, yang dihuni oleh minoritas islam, yaitu berupa perpecahan yang besar. Perpecahan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat dalam beberapa masalah ilmiyyah, dan sikap-sikap kongkrit dalam menghadapi sebagian orang yang berseberangan (pendapat). Fenomena ini telah menghambat laju perjuangan dakwah menuju As Sunnah, dan bahkan menghalangi sebagian orang untuk mengikutinya. Padahal sebelumnya masyarakat umum diberbagai daerah dan negri , berbondong-bondong untuk mendalaminya.

Saya akan ringkaskan nasehat ini dalam beberapa poin berikut, dengan disertai harapan kepada Allah, agar melimpahkan kepadaku keikhlasan niat, dan kebenaran dalam ucapan, serta memberikan manfaat kepada setiap orang muslim yang membacanya.

Pertama : Adalah termasuk salah satu prinsip yang ditetapkan dalam agama Islam, bahwa setiap orang muslim sebelum ia menyibukkan dirinya dengan (kekurangan) orang lain, hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh, membenahi diri, berupaya merealisasikan keselamatan, dan menjauhkan segala hal yang akan menyebabkan kebinasaan terhadap dirinya. Sebagaimana firman Allah :

] ?????? ?? ??????? ??? ??? ??? ????? ????? ?????? ???????? ??????? ????? ??????? ??????[

Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat- menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Asher 1-3).

Allah memberitakan tentang orang-orang yang akan selamat dari kerugian, yaitu orang-orang yang terwujud pada dirinya perangai-perangai tersebut. Allah menyebutkan, bahwa mereka merealisasikan pada diri mereka keimanan, dan amal sholeh terlebih dahulu, sebelum mereka mendakwahi orang lain. Dakwah dengan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. Sehingga ayat-ayat ini benar-benar telah menetapkan permasalahan ini.

Dan Allah sungguh telah mencela Bani Isra’il, dikarenakan mereka menyelisihi prinsip ini, yaitu dengan berfirman :

] ??????? ????? ????? ?????? ?????? ????? ????? ?????? ???? ?????? [ ?????? 44

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Alkitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah :44)

Oleh karena itu, hendaklah setiap pemuda senantiasa membenahi dirinya sendiri, sebelum berusaha membenahi orang lain, dan tatkala dirinya telah mencapai istiqomah (dalam kebaikan), kemudian ia menyatukan antara penerapan ajaran agama pada dirinya dengan perjuangan mendakwahi orang lain, maka ia benar-benar telah meniti metode dan petunjuk ulama’ salaf, dan Allah akan melimpahkan kemanfaatan dari (dakwah) nya. Dengan demikian mereka adalah para da’i menuju kepada As Sunnah, melalui ucapan dan perilakunya. Dan sungguh demi Allah, metode ini merupakan kedudukan paling agung, yang bila seseorang telah berhasil mencapainya, maka ia termasuk hamba Allah yang paling baik kedudukannya pada hari kiyamat.

Allah Ta’ala berfirman :

] ??? ???? ???? ??? ??? ??? ???? ???? ????? ???? ???? ?? ????????[ ???? 33

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fusshilat:33)



Kedua : Hendaknya diketahui, bahwa yang benar-benar dikatakan sebagai Ahlis Sunnah adalah mereka yang menjalankan dengan sempurna (ajaran) agama islam, baik secara idiologi, ataupun perilaku.

Dan merupakan kekurang pahaman, bila yang dianggap sebagai Ahlis Sunnah atau seorang Salafy, adalah orang yang merealisasikan Aqidah Ahlis Sunnah semata, tanpa memperdulikan segi perilaku, adab-adab yang sesuai dengan ajaran islam, dan menunaikan hak-hak sesama muslim.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada akhir kitab “Al Aqidah Al Wasithiyyah” berkata: “Kemudian mereka (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), selain merealisasikan prinsip-prinsip ini: Saling memerintahkan dengan yang baik, dan melarang dari yang mungkar, sesuai yang diajarkan dalam syari’at. Mereka menganjurkan untuk menunaikan ibadah haji, berjihad, mendirikan sholat jum’at, sholat ‘id, bersama para pemimpin, baik mereka adalah pemimpin yang baik (adil) ataupun pemimpin yang jahat. Mereka senantiasa menegakkan sholat berjama’ah, menjalankan tanggung jawab memberikan nasehat kepada ummat.

Mereka juga senantiasa meyakini makna sabda Nabi e :

?????? ?????? ???????? ??????? ??? ???? ????

Artinya: “(permisalan peran) Seorang mukmin terhadap seorang mukmin lain, bagaikan sebuah bangunan yang kokoh, yang sebagiannya menopang (menguatkan) sebagian lainnya”.

Tatkala ditimpa cobaan (kesusahan), mereka saling memerintahkan supaya menetapi kesabaran, dan tatkala mendapatkan kelapangan, saling memerintahkan untuk bersyukur, dan tatkala ditimpa takdir yang pahit, mereka saling memerintahkan untuk berlapang dada. Mereka senantiasa menyeru kepada akhlaq-akhlaq mulia, dan amal-amal terpuji. Mereka juga meyakini makna sabda Nabi e :

???? ???????? ?????? ?????? ????

Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”.

Mereka senantiasa menganjurkan, agar engkau menyambung (hubungan dengan) orang yang memutuskan hubungan denganmu, dan memberi orang yang enggan memberimu, memaafkan orang yang menzalimimu. Mereka juga saling memerintahkan untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tua, juga untuk bersilaturahmi, berbuat baik kepada tetangga.

Mereka juga senantiasa melarang dari perangai berbangga diri, sombong, melampaui batas, melanggar hak orang lain, baik dengan alasan yang dibenarkan atau tidak.

Mereka senantiasa memerintahkan agar komitmen dan menjaga akhlaq terpuji dan mencegah dari akhlaq tercela.

Dan setiap hal yang mereka ucapkan dan lakukan, baik dari hal-hal tersebut diatas, atau lainnya, mereka senantiasa mengikuti Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah, dan jalan hidup mereka adalah agama islam yang dengannya Allah mengutus Nabi Muhammad e”.



Ketiga : Diantara tujuan agung yang dianjurkan agama islam (untuk dicapai), ialah: menunjuki manusia untuk menganut agama ini, sebagaimana disabdakan Nabi e, tatkala beliau mengutus sahabat Ali ke Khaibar (yaitu pada saat perang Khaibar):

(??? ???? ???? ?? ???? ????? ??? ?? ?? ??? ?????) ????? ???????? ???????? ????: (4210)? ????? ????: (2406).

Artinya : “Seandainya Allah memberi petunjuk denganmu seseorang saja, itu lebih baik bagimu dibanding (memiliki) unta merah”.(HR Bukhory no:4210, dan Muslim 2406).

Oleh sebab itu, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah, berupa hidayah (petunjuk) kepada (mengamalkan) As Sunnah, hendaknya bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang yang masih tersesat dari As Sunnah, atau kurang perhatian dengannya. Mendakwahi mereka agar benar-benar merealisasikan As Sunnah. Hendaknya mereka menempuh segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan, dalam menuntun manusia dan mendekatkan pintu hati mereka agar menerima kebenaran.

Hal itu dengan cara mendakwahi mereka dengan lemah lembut, sebagaimana firman Allah tatkala berbincang-bincang kepada Nabi Musa dan Harun :

] ????? ??? ????? ??? ??? ????? ?? ???? ???? [ ?? : 44.

Artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut". (QS. Thaha: 43-44)

Hendaknya mereka memanggilnya dengan julukan-julukan yang sesuai dengan kedudukannya. Sebagaimana dahulu Nabi e ketika menulis surat kepada Hiraql, dengan bersabda:

??? ???? ???? ?????

Artinya: “kepada Hiraql, Pemimpin Romawi”.

Beliau juga memberikan kuniyyah kepada Abdillah bin Saba dengan “Abil Habbab”.

Dan hendaknya mereka juga senantiasa bersabar dalam menghadapi kekerasan sikap orang yang didakwahi, dan membalasnya dengan perilaku baik, dan janganlah menuntut mereka untuk segera menerima kebenaran? Allah berfirman :

]????? ??? ??? ????? ????? ?? ????? ??? ?????? ???[ ??????? 35.

Artinya: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (ulul ‘Azmi) telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka”.



Keempat : Hendaknya para pelajar (Tholabatul Ilmi), terutama para da’i, dapat membedakan antara Al Mudarah dan Al Mudahanah. Karena AL Mudarah adalah suatu hal yang dianjurkan, yaitu: sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lisanul ‘Arab”: “Bersikap Mudarah terhadap orang lain adalah dengan beramah-tamah kepada mereka, berhubungan dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, agar mereka tidak menjauh darimu”.([1]) Sedangkan Al Mudahanah (menjilat) adalah sikap tercela, yaitu sikap (mengorbankan) agama, Allah berfirman :

] ???? ?? ???? ??????? [ ????? 9

Artinya : Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (QS. Al Qolam :9).

Al Hasan Al Bashry menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “ Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dihadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dihadapanmu”. (Tafsir AL baghowy 4/377).

Dengan demikian, orang yang bersikap mudarah akan berlemah lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikitpun dari prinsip agamanya, sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.

Sungguh dahulu Nabi e, merupakan figur paling baik akhlaqnya, dan paling lemah lembut terhadap umatnya, dan ini sebagai perwujudan sisi lemah lembut, dan ramah tamah dari perangai beliau. Di sisi lain, beliau adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau tidak akan meninggalkan prinsip agama, barang satupun, walau dihadapan siapapun, dan ini adalah perwujudan sisi keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama. Dan sisi perangai beliau ini sangat bertentangan dengan sikap mudahanah (menjilat).

Hendaknya para pelajar, memperhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan, bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain, dan berlemah lembut, sebagai tanda lemah dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Disaat yang lain, ada yang beranggapan bahwa: sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan, dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan, adalah bagian dari sikap ramah-tamah (Ar rifqu). Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini adalah, salah, dan tersesat dari kebenaran. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan dengan baik, karena kesalah pahaman pada permasalahan ini, sangat berbahaya, dan tiada yang dapat terlindung darinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah.



Kelima : Seorang juru dakwah, dalam berdakwah kepada manusia, memiliki dua metode yang diajarkan dalam syari’at, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak dalil, yaitu: metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan), dan metode hajer (memboikot/menjauhi) dan mengancam. Sehingga salah bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) kepada setiap orang.

Akan tetapi hendaknya ditempuh metode yang paling berguna dan sesuai dengan masing-masing pelanggar (orang yang menyeleweng), sehingga lebih besar harapan untuk ia dapat menerima kebenaran, dan kembali kepada jalan yang lurus. Apabila dengan metode menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat, dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka metode inilah yang disyari’atkan (dibenarkan) dalam menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila metode hajer (memboikot) lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka metode inilah yang disyari’atkan.

Kesimpulannya: barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati, terhadap orang yang selayaknya dihajer (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajer (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berlaku munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “(Syari’at) menghajer, berbeda-beda sejalan dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, tidaknya, dan sedikit, banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajer (boikot) adalah menghardik orang yang dihajer (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat umum meninggalkan kesalahan tersebut.

Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajer (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah, dan sirna, maka pada saat itulah hajer (boikot) disyariatkan.

Akan tetapi bila orang yang diboikot, dan orang lainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajer (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajer (boikot).

Bahkan menarik simpati sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan memboikot sebagian lainnya, lebih berguna dibanding menarik simpatinya. Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik simpati sebagian orang, dan memboikot sebagian lainnya…

Yang demikian ini, sebagaimana halnya menghadapi musuh, kadang kala disyariatkan peperangan, dan kadang kala perdamaian, dan kadang kala dengan cara mengambil jizyah (upeti), semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.

Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya, tentang permasalahan ini, didasari oleh prinsip tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206).



Beliau menjelaskan kesalahan orang yang menyama ratakan dalam menerapkan hajer (boikot) atau menarik simpati, tanpa memperhatikan prinsip tersebut diatas, dengan berkata: “Sesungguhnya sebagian orang menjadikan hal tersebut (hajer atau menarik simpati) sebagai suatu keumuman, sehingga mereka menghajer atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan, tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja dikarenakan kesalahan ini, menyebabkannya meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan, dan akibatnya ia melanggar hal-hal yang diharamkan.

Dan disisi lain ada sebagian orang yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk membaoikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. (Majmu’ Fatawa 28/213).



Keenam : Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajer (boikot) untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, yang telah digariskan oleh para ulama’ yang berkompeten dalam hal ini. Sehingga melalui ketentuan-ketentuan tersebut benar-benar terbedakan dengan jelas, antara pelaku kesalahan yang disyari’atkan (layak) untuk diboikot dari orang yang tidak layak. Ketentuan-ketentuan tersebut, diantaranya, ialah :



1. Yang berkaitan dengan pemboikot.

Yaitu hendaknya orang yang kuat, memiliki pengaruh, sehingga pemboikotan yang ia lakukan menimbulkan pengaruh, yang berupa teguran terhadap pelaku kesalahan. Adapun bila pemboikot adalah orang yang lemah, maka boikot yang ia lakukan tidak akan membuahkan hasilnya

Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotan adalah untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.

Adapun bila tujuannya ialah demi menjaga kemaslahatan pemboikot, yaitu karena ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan mendatangkan kerugian baginya, bila ia bergaul atau duduk-duduk dengannya.

Yang demikian ini, dikarenakan hajer (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikot, yaitu dengan cara memboikot setiap orang yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya, Sebagaimana disyariatkan demi mencapai kemaslahatan orang yang diboikot, yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot.

Dan hajer (boikot) juga disyariatkan, demi mencapai kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat, menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Dan banyak dalil yang menunjukkan setiap macam dari ketiga jenis pemboikotan ini.



2. Yang berkaitan dengan orang yang diboikot.

Yaitu apabila ia akan mendapatkan manfaat dengan terjadinya pemboikotan atas dirinya, sehingga ia terpengaruh dan kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak mendapatkan manfaat dengannya, bahkan kadang kala semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Dan hal ini bisa saja kembalinya kepada tabi’at yang dimiliki oleh sebagian orang; kuat, keras, dan enggan untuk tunduk kepada orang lain, walau tabiat ini akan menjadikannya binasa. Nah orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman, dan boikot, akan tetapi kadang kala dapat dipengaruhi dengan cara menarik simpati, dan sikap ramah tamah.

Ada kalanya yang menyebabkan ia tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan adalah adanya kendala-kendala lain, misalnya, karena ia adalah seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya tidak akan berguna bila diboikot, karena mereka biasanya merasa tidak butuh terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu dahulu Nabi e menarik simpati para pemimpin yang ditaati dikaumnya, begitu juga pemuka masyarakat, seperti halnya Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, Al Aqra’ bin Habis, dan yang serupa dengan mereka.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, dahulu Nabi e menarik perhatian sebagian orang, dan memboikot sebagaian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk), ketiga-tiganya lebih baik bila dibanding kebanyakan orang-orang yang ditarik perhatiannya. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang ditarik perhatiannya) adalah para pemimpin, lagi ditaati di kabilah masing-masing …”. (Majmu’ Fatawa 28/206).



3. Yang berkaitan dengan jenis pelanggaran.



Tidak ada jenis pelanggaran yang dapat dikatakan: bahwa pelakunya selalu diboikot, dalam situasi apapun, atau selalu tidak diboikot, dalam situasi apapun. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa setiap perbuatan bid’ah pasti diboikot, sedangkan perbuatan maksiat, tidak, atau bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) diboikot, sedang selainnya tidak, atau dosa-dosa besar diboikot, sedang dosa-dosa kecil tidak.

Yang benar adalah, disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun kecil, apabila ia adalah orang yang layak untuk dihajer (diboikot) dan ia akan mendapatkan manfaat dengannya. Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan dalam hal ini ialah; apakah pelaku pelanggaran tersebut mendapatkan manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran. Sehingga mungkin saja seorang yang sholeh, pengagung As Sunnah, diboikot, hanya karena kesalahan kecil, sebagaimana halnya Nabi e memboikot sebagian sahabatnya, karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau memboikot ‘Ammar bin Yasir t tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab As Sunnan 5/8), dan beliau tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, hingga ia menghancurkannya. (HR Abu dawud, 5/402).

Dan kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat kesholehan pelakunya jauh dibawah orang-orang yang diboikot. Sebagai contoh Nabi e menarik simpati Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, bahkan beliau menarik simpati sebagian orang munafiqin, semacam Abdullah bin Ubai, dan yang serupa dengannya. Semua ini sesuai dengan kemaslahatan dan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan lain dalam masalah pemboikotan.







4. Yang berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran



Hendaknya dibedakan antara tempat dan waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, sehingga pelakunya memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, sehingga kekuatan pelakunya lemah.

Sehingga apabila kekuatan diwaktu dan tempat tersebut berada ditangan Ahli Sunnah, maka disyariatkan untukmenghajer (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya, disebabkan pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, sehingga ia akan menjadi jera dengan pemboikotan tersebut. Sebagaimana firmankan tentang kisah sahabat Ka’ab bin Malik dan kedua kawannya:

] ??? ??? ???? ????? ????? ??? ???? ????? ????? ?????? ????? ?? ?? ???? ?? ???? ??? ???? … [ ???? ?????? 118.

Artinya: “hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (QS At Taubah 118).

Sebagaimana teguran dan pendidikan, berhasil dicapai melalui pemboikotan sahabat Umar bin Khotthab beserta seluruh ummat, terhadap Shobigh bin ‘Asal, sebagaimana telah diketahui bersama.

Adapun apabila kekuatan pada suatu waktu dan tempat berada ditangan orang-orang jahat, dan penjaja kebatilan, maka tidak disyari’atkan pemboikotan; -kecuali pada momen-momen tertentu- karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, berupa pendidikan, dan teguran, bahkan dimungkinkan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana halnya yang terjadi di kota Bashrah banyak orang-orang yang mengingkari taqdir (Qodariyah), di kota Khurasan banyak ahli nujum, dan di kota Kufah banyak orang-orang Syi’ah, dengan tempat-tempat yang tidak demikian halnya. Dan hendaknya dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan lainnya. Dan apabila telah diketahui tujuan syari’at, maka hendaknya ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa 28/206-207).



5. Yang berkaitan dengan masa pemboikotan.



Hendaknya masa pemboikotan disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggaran, karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari , satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang butuh waktu lebih lama. Dan apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan, karena kalu tidak, yang terjadi adalah rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang selazimnya, maka tidak akan ada gunanya.

Tatkala Ibnu Qayyim menyebutkan faedah-faedah yang dapat disimpulkan dari kisah pemboikotan Nabie terhadap sahabat ka’ab bin Malik dan kedua kawannya, beliau berkata: “ Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama’ atau pemuka masyarakat, terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot). Hendaknya pemboikotan tersebut merupakan obat, yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan), dan tidak berlebih, baik dalam jumlah atau metode, sehingga dapat membinasakan orang tersebut, karena tujuannya (pemboikotan) adalah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan”. (Zad Al Ma’ad 3/20).



Ketujuh : Mengingkari pelaku pelanggaran, dan membantahnya, dalam rangka menunaikan kewajiban menasehati orang tersebut, dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, adalah salah satu prinsip baku Ahlis Sunnah, bahkan hal ini termasuk macam jihad paling mulia. Akan tetapi, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam syari’at, dan syarat-syarat yang telah ditetapkan, sehingga dengan cara ini, dapat dicapai tujuan syari’at dari pngingkaran dan bantahan tersebut. Diantara ketentuan dan syarat tersebut, ialah:



1- Hendaknya pengingkaran tersebut dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran. Diantara konsekwensi keikhlasan dalam hal ini, ialah: Ia senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada kebenaran, dan ia menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, agar hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, bukan malah menjadikannya semakin jauh. Dan hendaknya ia berdoa secara khusus untuk orang tersebut, agar Allah memberi petunjuk kepadanya, apabila ia dari kalangan Ahli Sunnah, atau selain mereka. Sungguh Nabi e dahulu mendoakan sebagian orang kafir, agar mendapat petunjuk, maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum muslimin yang bertauhid (tentu lebih pantas untuk didoakan).

2- Hendaknya bantahan terhadap orang tersebut dilakukan oleh seorang ulama’ yang benar-benar telah mendalam ilmunya, sehingga ia menguasai dengan detail, segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut, yaitu, yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at, keterangan para ulama’ dalam masalah tersebut, dan sejauh mana tingkat penyelewengan pelanggar tersebut. Dan juga sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam hal ini.

Hhendaknya orang yang membantah memiliki kriteria: dapat mengemukakan dalil-dalil yang kuat ketika mengemukakan kebenaran, dan mematahkan syubhat, ungkapan-ungkapan yang detail, agar tidak nampak, atau dipahami dari perkataannya suatu kesimpulan yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Karena bila orang yang membantah tidak memiliki kriteria ini, niscaya yang terjadi adalah kerusakan besar.

3- Hendaknya tatkala membantah, diperhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan baik dari segi agama ataupun sosial yang ada pada orang-orang tersebut. Begitu juga motivasi pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau ungkapannya yang kurang baik, atau salah mengucap, atau terpengaruh oleh seorang guru atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau tujuan-tujuan lain yang ada pada pelanggaran terhadap syari’at.

Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memperdulikan dan tidak memperhatikan terhadap perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus kedalam tindak ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak atau kurang berguna.

4- Hendaknya tatkala membantah, senantiasa berusaha mewujudkan maslahat (tujuan) syari’at dari tindakan tersebut. Sehingga apabila tindakannya tersebut justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak disyari’atkan untuk membantah. Karena suatu kerusakan tidak dibenarkan untuk ditolak dengan kerusakan lebih besar.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syari’at Islam (senantiasa) mengajarkan agar senantiasa merealisasikan kemaslahatan, dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya, sedapat mungkin. Singkat kata; bila tidak mungkin untuk disatukan antara dua kebaikan, maka syari’at islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan”. (Al Masail Al Mardiniyyah 63-64).

5- Hendaknya bantahan, disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negri, atau masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebar luaskan ke negri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan tersebut, baik melalui penerbitan kitab, atau kaset, atau sarana-sarana lainnya. Karena menyebar luas bantahan, berarti secara tidak langsung menyebar luaskan pula kesalahan tersebut. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan, akan tetapi syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, dan tidak merasa puas dengan bantahan itu.

Sehingga menghindarkan masyarakat dari mendengarkan kebatilan dan kesalahan, lebih baik daripada mereka mendengarkannya, dan membantahnya kemudian. Sungguh ulama’ terdahulu, senantiasa mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang berisikan bantahan, mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka, yang belum dicapai oleh sebagian orang zaman sekarang.

Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menebarkan bantahan di negri yang belum dijangkiti kesalahan, sama halnya pembahasan tentang menebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menebarkan bantahan, baik melalui buku atau kaset, ditengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan itu.

Betapa banyak orang awam yang terfitnah, dan terjatuh ke kubang keraguan tentang dasar-dasar agama, akibat mereka membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka.

Maka hendaknya orang-orang yang menebarkan buku-buku bantahan ini, takut kepada Allah, dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat, dalam urusan agama mereka.

Dan diantara yang paling mengherankan saya ialah; sebagian pelajar, membagi-bagikan sebagian buku bantahan, kepada sebagian orang yang baru masuk islam, orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan, kemudian mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah mengherankan sekali tindakan mereka.



6- Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah, sehingga bila telah ada seorang ulama’ yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, telah terealisasi tujuan syari’at, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama’ telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.

Adalah termasuk kesalahan, tatkala ada seorang ulama’ membantah seorang pelaku kesalahan, atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama’ lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikap mereka terhadap ulama’ pembantah tersebut dan pelaku kesalahan yang dibantah, atau fatwa itu. Bahkan tidak jarang para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam, untuk menyatakan sikapnya terhadap ulama’ pembantah dan pelaku kesalahan tersebut.

Terlebih dari itu semua, mereka kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan), dan akhirnya yang terjadi saling menghajer (memboikot) hanya karena perkara ini.

Bahkan kadang kala sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syeikhnya), yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu darinya, hanya dikarenakan permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup kedalam keluarga, sehingga engkau dapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah, hanya karena permasalahan ini.

Dan bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan, dan akhirnya saling memboikot. Semua ini terjadi dikalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada As Sunnah (Ahlis Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlis Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diturutkan), kita memohon kepada Allah perlindungan dan keselamatan.



Kedelapan : Ulama’ Ahlis Sunnah yang telah terkenal akan keselamatan akidah dan jasanya dalam memperhuangkan As Sunnah (Manhaj Ahlis Sunnah), hendaknya senantiasa dijaga kehormatannya, diperhatikan kedudukannya, tidak sepatutnya dicela, atau diklaim sebagai pelaku bid’ah, atau dituduh mengikuti hawa nafsu, atau fanatis, hanya karena memiliki kesalahan dalam berijtihad.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak diragukan lagi, bahwa kesalahan seseorang dalam permasalahan yang detail, akan diampuni, walaupun kesalahan tersebut tergolong dalam permasalahan-permasalahan ilmiyyah (akidah). Kalau kita tidak bersikap demikian, niscaya kebanyakan ulama’ akan binasa (tidak dihargai jasanya). Apabila Allah mengampuni orang yang tidak mengetahui bahwa khomer adalah haram, dikarenakan ia hidup disuatu masyarakat bodoh, padahal ia tidak pernah menuntut ilmu, maka seorang ulama’ yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sesuai dengan yang ia peroleh dimasa dan tempat ia berada, apabila ia benar-benar bertujuan mengikuti (ajaran) Rasulullah sedapat mungkin, tentua ia lebih berhak untuk diterima Allah kebaikannya dan mendapatkan pahala atas usaha dan jasanya, dan diampunkan kesalahannya. hal ini sebagai realisasi dari firman-Nya:

] ???? ?? ??????? ?? ????? ?? ??????[. ?????? ????? 286

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menyiksa kami, jika kami lupa atau bersalah”. (Majmu’ fatawa 20/165).

Pada kesempatan lain beliau juga berkata: “Ini adalah keyakinan ulama’ salaf (terdahulu), dan para imam ahli fatwa, seperti Abu Hanifah, As Syafi’i, Ats Tsaury, Dawud bin Ali, dan lainnya. Mereka tidak menganggap berdosa orang yang salah dalam berijtihad, baik dalam permasalahan-permasalahan prinsip (ushul), atau cabang (furu’). Hal ini sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Hazem dan lainnya, dan mereka berkata: inilah pendapat yang dikenal dari kalangan para sahabat, pengikut mereka dalam kebaikan (tabi’in), dan para imam agama. mereka tidaklah mengkafirkan, juga tidak menfasikkan, juga tidak menganggap berdosa, seorang ahli ijtihad yang salah (dalam berijtihad), tidak dalam permasalahan amaliyah, juga tidak dalam masalah ilmiyah (akidah). Mereka beralasan, bahwa membedakan antara permasalahan-permasalahan furu’ (cabang) dengan permasalahan-permasalahan ushul (prinsip) hanyalah pendapat ahlil bid’ah, dari kalangan orang-orang penganut ilmu kalam (filsafat), mu’tazilah, jahmiyyah, dan pengikut mereka”. (Majmu’ fatawa 19/207).

Kita menegaskan hal ini, bukan berarti kita tinggal diam, tidak menasehati ulama’ tersebut bila ia melakukan kesalahan, bahkan menasehatinya adalah sebuah kewajiban setiap orang yang mengetahui kesalahannya, dan sikap ini termasuk bakti dan perilaku baik kepadanya. Akan tetapi sudah barang tentu nasehat harus dilakukan dengan cara ramah, lembut, metode yang sesuai dengan kedudukannya dalam keilmuan dan perjuangannya.

Kemudian bila ia bertaubat, meninggalkan kesalahannya, dan meralat kesalahannya, maka ia diterima, dan tidak dibenarkan lagi untuk membicarakannya, tidak juga mencelanya karena kesalahan tersebut, juga tidak dibenarkan kita meragukan kesungguhannya dalam bertaubat.

Namun bila ia tidak bertaubat, dikarenakan masih memiliki alasan tertentu, atau syubhat yang menghalanginya untuk mengetahui kebenaran, maka hendaknya dilihat; apabila kesalahan tersebut hanya terbatas pada dirinya sendiri, maka tanggung jawab kita telah selesai dengan menasehatinya, akan tetapi jika kesalahan tersebut telah menyebar, maka hendaknya masyarakat diperingatkan dari kesalahan itu, dengan tetap menjaga kehormatan ulama’ tersebut.

Sepantasnya pada kesempatan ini, kita senantiasa mengingat kewajiban menjaga dua prinsip besar: Pertama: Kewajiban bersikap tulus demi kebenaran, Kedua: Kewajiban menjaga kehormatan ulama’. kedua prinsip ini menurut Ahlis Sunnah tidaklah saling bertentangan, dan tidak dibenarkan untuk membesar-besarkan salah satunya, walau harus dengan mengabaikan yang lainnya.

Cinta kepada ulama’, menjaga kedudukan mereka, tidak berarti tinggal diam melihat kesalahan mereka, dan tidak memperingatkannya. Bersikap tulus demi kebenaran, dan mengingatkan kesalahan seorang ulama’, tidak berarti mencela dan memakinya, akan tetapi kedua prinsip ini dapat digabungkan oleh setiap orang yang mendapatkan bimbingan dari Allah.

Barang siapa yang mengetahui metode ulama’ dalam mengingatkan kesalahan sebagian mereka, tanpa diserta celaan, niscaya ia akan mengetahui hakikat permasalahan ini, dan bukti-bukti nyata perkataan ini banyak sekali didapatkan dalam perkataan ulama’.



Kesembilan: Ahlul Bid’ah yang menyelisihi Akidah Ahlis Sunnah, dan manhaj (metode) mereka dalam berdalil, mengajar, mendidik, dan berdakwah ke jalan Allah, serta mengikuti hawa nafsu. Mereka juga tidak menjadikan ulama’ Ahlis Sunnah sebagai suri tauladan, bahkan sebaliknya, malah mencela, dan mencemooh mereka, bahkan menganggap diri mereka lebih utama dibanding para ulama’ Ahlis Sunnah. Mereka ialah mubtadi’ah (ahli bid’ah) lagi sesat, sepantasnya untuk diperangi dengan cara menjelaskan kepada seluruh masyarakat, keburukan jalan mereka, penyelewengan mereka dari As Sunnah. Juga dengan membantah mereka, dan memperlakukan mereka dalam segala kondisi dengan perlakuan terhadap Ahlul Bid’ah.

Akan tetapi, hal ini tidak menghalangi kita untuk mendakwahi mereka kepada kebenaran, dan bila dianggap akan menyebabkan mereka kembali kepada As Sunnah, maka diadakan diskusi antara ulama’ dengan mereka, yaitu diskusi dengan cara-cara yang baik.

Hendaknya kita selalu waspada, agar tidak mencampur-adukkan antara sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi Ulama’ Ahlis Sunnah, -walau mereka memiliki kesalahan- yaitu kewajiban menjaga kedudukan dan kehormatan mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dengan sikap yang seharusnya diambil dalam menghadapi ulama’ Ahlil Bid’ah, yang seyigyanya diboikot, dan diperingatkan dari mereka agar dijauhi. Yang demikian ini, dikarenakan kesalahan ulama’ Ahlis Sunnah, merupakan hasil dari usaha mereka dalam mencapai kebenaran, dengan menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil. Sedangkan kesalahan ulama’ Ahlil Bid’ah, ialah hasil dari hawa nafsu, penyelewengan, dan tidak menempuh metode-metode yang dibenarkan dalam berdalil, sehingga sangat jauhlah perbedaan antara keduanya.

Permasalahan ini, merupakan titik perbedaan antara Ahlis Sunnah dan Ahlil Bid’ah. Dan dengan ini pula seorang yag cerdas dan jeli dapat memahami, sebab kenapa para ulama’ Ahlis Sunnah yang memiliki kesamaan pendapat dengan sebagian Ahlil bid’ah dalam beberapa keyakinan mereka, tidak diklaim sebagai ahlil bid’ah.



Kesepuluh : Saya menutup nasehat ini dengan menyebutkan beberapa anjuran ringan dan faedah-faedah berharga, yang saya rasa bila diamalkan, akan mendatangkan pahala besar dan kedudukan tinggi disisi Allah. Saya menyeru saudara-saudaraku untuk mengamalkannya, dan senantiasa memperhatikannya, terlebih-lebih pada masa ini, masa yang banyak tersebar fitnah, hawa nafsu diumbar, kebodohan merajalela, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat dan petunjuk Allah.

1. Wahai penganut As Sunnah, ketahuilah: jika anda benar-benar penganut As Sunnah, sekali-kalii tidak akan merugikanmu, tipu daya yang ditujukan kepadamu oleh seluruh penghuni langit dan bumi, dan anda tidak akan dapat terusir dari (jalan) As Sunnah, hanya karena tuduhan mereka kepada anda, sebagai pelaku bid’ah. Sebaliknya, jika anda adalah pelaku kesesatan dan peyelewengan –dan saya memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anda, agar anda tidak menjadi demikian- niscaya tidak berguna bagimu disisi Allah, pujian seluruh manusia, dan penisbatan mereka bahwa anda adalah penganut As Sunnah, serta sanjungan mereka kepada anda dengan berbagai julukan palsu, -bila realitanya Allah telah mengetahui tentang hakikat diri anda sebagaimana yang anda ketahui sendiri- oleh karena itu hendaknya anda tidak berdusta pada diri sendiri. Hendaknya cukup sebagai peringatan bagimu pada situasi seperti ini, wasiat Nabi e kepada Ibnu Abbas,([2]) dan hadits tiga orang yang akan pertama kali dimasukkan kedalam api neraka,([3]) semoga Allah melindungi saya dan anda darinya.

2. Ketahuilah bahwasannya ulama’ Ahlis Sunnah yang mendalam (kokoh) ilmunya, dapat mencapai kedudukan tinggi dan menjadi pemimpin (imam) dalam keagamaan –selain karena taufiq (bimbingan) Allah kepada mereka- dikarenakan kesabaran dan keyakinan mereka. Allah Ta’ala berfirman:

] ?????? ???? ???? ????? ?????? ??? ????? ?????? ??????? ??????[

“Dan Kami jadikan dari mereka imam-imam (para pemimpin), yang memberi petunjuk dengan urusan Kami, tatkala mereka bersabar, dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami “.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam urusan agama akan dicapai”.

Dan yang dimaksud dari keyakinan ialah; kekuatan dalam ilmu, yang dilandasi oleh dalil yang benar, pemahaman lurus. Bukan (sebagai keyakinan) apa yang dianut oleh sebagian pelajar, berupa sikap pasrah dalam berilmu dengan taklid kepada seorang ulama’, atau pelajar lain, atau dakwaan bahwa kebenaran akan selalu bersama ulama’ tersebut, dan tidak ada yang memahami As Sunnah dengan baik, kecuali dia.

Dan yang dimaksud dari kesabaran ialah; kegigihan dan keuletan dalam menuntut ilmu, dengan disertai pengamalan, dan mengisi seluruh waktunya, siang dan malam dengan hal tersebut. Berbeda halnya dengan orang-orang yang lemah semangat, dan lebih senang dengan santai, pasrah kepada gejolak hawa nafsu, sehingga ia tidak memiliki semangat untuk belajar, juga tidak untuk beramal.

3. Ketahuilah bahwasannya mengklaim orang lain dengan kafir, mubtadi’, dan fasik, merupakan hak Allah, oleh karenanya jangan sekali-kali anda mengkalaim dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik orang yang tidak layak diklaim demikian, walaupun ia telah mengklaim anda dengan kafir, atau mubtadi’ atau fasik. Karena sesungguhnya Ahlis Sunnah tidak membenarkan untuk membalas kezaliman pelaku kesalahan dengan kezaliman. Akan tetapi metode membalas kezaliman dengan kezaliman, merupakan perangai Ahlil Bid’ah.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Orang-orang Khowarij selalu mengkafirkan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, demikian juga Mu’tazilah, mereka mengkafirkan setiap orang yang bertentangan dengannya, demikian pula halnya Rafidhoh (Syi’ah). Kalaupun mereka tidak mengkafirkan, tapi mereka mengklaim dengan fasik …..Sedangkan Ahlis Sunnah, senantiasa mengikuti kebenaran yang datang dari Tuhan mereka, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah e. Dan mereka tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dalam kebenaran itu. Akan tetapi mereka adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran, dan paling sayang terhadap manusia”. (Minhajus Sunnah 5/158).

4. Janganlah sekali-kali anda memboikot saudaramu yang telah memboikotmu, bila pemboikotan terhadapnya tidak dibenarkan secara syari’at. Akan tetapi hendaknya anda selalu memulai mengucapkan salam kepadanya, berusaha menarik simpatinya. Berusahalah untuk menghapuskan syubhat yang menyebabkannya memboikot anda. Bila ia tetap berpaling darimu, maka janganlah anda berkeyakinan dalam hati anda bahwa anda dibenarkan untuk memboikotnya. Dan janganlah anda menyibukkan diri anda dengan terus berusaha mendekatinya, karena anda telah terbebas dari dosa memutus hubungan, sedangkan dia akan bertanggung jawab atas tindakannya itu.

5. Celaan orang lain terhadap anda, bisa saja dengan cara menjelek-jelekkan pribadi anda, dan bisa dengan cara menisbatkan -dengan dusta- kepada anda suatu perkataan yang bertentangan dengan keyakinan Ahlis Sunnah. Maka apabila yang mereka lakukan adalah menjelek-jelekkan pribadi anda, misalnya dengan mengatakan: Ia orang sesat, bodoh, tidak paham, maka janganlah sekali-kali anda membela diri. Karena bila anda membela diri, niscaya anda akan terjerumus kedalam tazkiatun nafsi (memuji diri sendiri), dan sikap seperti ini merupakan kebinasaan yang nyata.

Ada seseorang yang menjelek-jelekkan seorang Imam dengan suatu ucapan, maka Imam itu hanya menjawab: “(Tuduhan) Anda tidak terlalu jauh”. Dahulu Ahlil Bid’ah senantiasa mensifati pribadi ulama’ Ahlis Sunnah dengan berbagai kedustaan, akan tetapi mereka tidak pernah memperdulikannya, Yang mereka lakukan hanyalah membantah kesalahan mereka dalam urusan agama, dan menasehati masyarakat umum. Oleh karena itu hendaknya kita menjadikan mereka suri tauladan dalam hal ini.

Adapun bila ia menisbatkan suatu perkataan sesat, misalnya dengan mengatakan: Si fulan berkata demikian, demikian, dan menisbatkan kepadamu suatu perkataan yang tidak pernah anda ucapkan, maka anda cukup membantah penisbatan tersebut, agar pada kemudian hari tidak ada yang menisbatkan perkataan tersebut kepada anda. Dan para ulama’ senantiasa menjelaskan kepada masyarakat tentang perkataan-perkataan yang tidak pernah mereka ucapkan, yang dinisbatkan kepada mereka. Dan sikap ini sama sekali bukan termasuk kedalam sikap memuji diri sendiri, bahkan merupakan nasehat kepada masyarakat.

Sehingga sangat jelas perbedaan antara contoh ini dengan contoh sebelumnya. Oleh karena itu hendaknya anda berpegang teguh dengan ajaran ulama’ salaf dalam hal semacam ini. Dan janganlah anda menyerupai sebagian orang bodoh, yang bila dituduh dengan suatu tuduhan, ia langsung menebarkan keseluruh penjuru dunia, berbagai pujian, dan sanjungan terhadap dirinya, Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. dan yang terakhir:

6. Ketahuilah bahwa setiap manusia akan menjadi semakin besar (kedudukannya) dalam bidang amalannya masing-masing, sehingga jika anda berpegang teguh dengan As Sunnah, niscaya kedudukan anda semakin hari, akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) As Sunnah, Allah Ta’ala berfirman:

] ?????? ???? ???? ????? ?????? ??? ????? ?????? ??????? ??????[ ?????? 24

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs As Sajdah 24).

Dan sebaliknya, jika anda mengamalkan bid’ah, niscaya kedudukan anda semakin hari akan semakin besar, dan tidak akan lama lagi, anda akan menjadi pemimpin dalam (pengamalan) bid’ah. Allah Ta’ala berfirman :

] ?? ?? ??? ?? ??????? ?????? ?? ?????? ???[ ???? 75

“Katakanlah:"Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Rabbnya yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya”. (QS maryam 75).

Dan setelah Allah mensifati Fir’aun beserta kaumnya dengan kesombongan, Dia berfirman:

] ???????? ???? ????? ??? ?????[ ????? 42

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka”. (QS Al Qhashash 41).

Maka silahkan anda memilih untuk diri anda, suatu amalan yang esok anda senang bila menjadi pemimpin dalamnya.

Inilah dan hanya Allah Ta’ala-lah yang lebih tahu, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan sholawat, salam dan keberkahan atas hamba dan rasul-Nya Muhammad …




Ditulis oleh:

Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily

Selesai ditulis di kota Madinah

pada tanggal 8/10/1424 H.











--------------------------------------------------------------------------------

([1]) Lisanul ‘Arab 14/255.

([2]) Maksud beliau: Wasiat Nabi e yang bermaknakan: “Dan ketahuilah seandainya seluruh umat bersatu, guna mencelakakanmu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan akan menimpamu, dan (sebaliknya) seandainya mereka bersatu untuk memberimu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya, kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu”. (HR Ahmad, At Tirmizy, Al Hakim). (pent)

([3]) Ketiga orang tersebut ialah: Orang yang memiliki ilmu tentang Al Qur’an (hafal Al Qur’an), tetapi menginginkan dari ilmunya agar dikatakan sebagai ahli bacaan (seorang ulama’), Orang yang memiliki harta kekayaan dan bersedekah agar dikatakan dermawan, dan orang yang berjihad dan mati dalam peperangan agar dikatakan pemberani. Sebagaimana disebutkan dalam HR At Tirmizy, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. (pent)
ANJURAN UNTUK BERKASIH SAYANG DAN BERSATU SERTA PERINGATAN DARI PERPECAHAN DAN PERSELISIHAN”





Oleh :
Fadhilah Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al-Madkholiy


Alih Bahasa :
Abu Salma bin Burhan Al-Atsari


Korektor dan Editor :
Ustadz Abu Abdurrahman Thayib, Lc.



KATA PENGANTAR


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.

Amma Ba’du :

Berikut ini merupakan ceramah ilmiah seputar manhaj dan tarbiyah (pembinaan) yang bermanfaat, dengan izin Allah, yang disampaikan oleh Fadhilatus Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi –semoga Allah menjaga beliau dan menjadikan (ilmu)nya bermanfaat- di saat pertemuan yang mubarak (penuh berkah) yang dihadiri oleh para penuntut ilmu syar’i di Universitas Islam Madinah Munawarah, beberapa minggu yang lalu.

Ceramah ini sungguh mengandung mutiara-mutiara yang berharga dari nasehat-nasehat yang mengagumkan dan pengarahan-pengarahan yang sarat dengan manfaat, yang disampaikan di saat dan kondisi yang sangat tepat sekali –segala puji hanya milik Allah- sebagai petunjuk bagi jalannya dakwah salafiyyah yang mubarakah (penuh berkah) ini, yang pada masa-masa akhir ini telah terkontaminasi oleh sebagian pemikiran asing dan karakter/perangai yang jauh darinya!

Semoga Allah membalas Syaikh Abu Muhammad Rabi’ bin Hadi –semoga Allah senantiasa menjaganya- dengan sebaik-baik ganjaran, atas upaya yang yang telah dipersembahkannya –dan apa yang akan beliau persembahkan- dalam menolong da’wah yang mulia ini dan jalan yang menentramkan ini.

Markaz Imam Albani sungguh memandang pentingnya menyebarkan[1] ceramah bermanfaat yang penuh berkah ini –insya Allah- agar manfaatnya semakin menyebar dan kebaikannya semakin besar. Allah Ta’ala berfirman : “Saling tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”

Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanya milik Allah Pemelihara semesta alam.

Amman – Yordan

19 Sya’ban 1425 H.



Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi bin ‘Umair al-Madkholi –Semoga Allah menjaganya- berkata :



Segala puji hanya milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan pada-Nya, meminta pengampunan dari-Nya, dan memohon perlindungan dari buruknya jiwa-jiwa kami dan jeleknya amal-amal kami. Barang siapa yang Allah telah menunjukinya maka tak ada seorangpun yang mampu menyesatkannya dan barang siapa yang Allah mengehendaki kesesatan atasnya maka tak ada seorangpun yang sanggup memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali hanyalah Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi pula bahwa Muhammad ada hamba dan utusan-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (Ali Imran : 102)

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada tuhan kalian yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, yang darinya Ia menciptakan pasangannya, dan memperkembangbiakkan dari keduanya kaum lelaki dan wanita yang banyak, maka bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kalian.” (An-Nisa’ : 1)

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amal kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Al-Ahzab : 70-71).

Amma Ba’du :

Sesungguhnya sebenar-benar suatu perkataan adalah perkataan Allah (Kitabullah) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sedangkan seburuk-buruk suatu perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.[2]

Marhaban (Selamat datang) wahai saudaraku seislam, para penuntut ilmu yang mulia[3], yang telah melakukan perjalanan jauh dari ujung dunia, dalam rangka meneguk ilmu syar’i yang memancar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam di tempat turunnya wahyu ini, kota Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yang merupakan tempat kedua turunnya wahyu setelah Makkah Mukarramah, yang berangkat darinya panji-panji jihad dan futuh (ekspansi islam) untuk meninggikan kalimat Allah Tabaroka wa Ta’ala, dan untuk menyebarkan agama yang haq (benar) ini, serta untuk memenangkan agama ini di atas seluruh agama lainnya, sebagaimana yang difirmankan Allah Tabaroka wa Ta’ala : “Dialah Allah yang mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang musyrik benci.” (Ash-Shaff : 9).

Allah sungguh telah memenangkan agama ini melalui tangan (usaha) para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mulia dengan penuh keikhlasan[4]. Mereka membuka hati manusia dengan ilmu, petunjuk dan keimanan, mereka membuka benteng-benteng dan negeri dengan pedang kebenaran, dan mereka menolong agama Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala usaha yang mereka miliki, dengan setiap apa yang mereka sanggupi, baik dengan mengorbankan harta dan jiwa. Mereka adalah orang yang mengimplementasikan kehendak Allah terhadap agama ini, serta mereka adalah orang yang memuliakan dan memenangkan agama ini di atas seluruh agama lainnya. Karena agama ini tegak di atas petunjuk dan ilmu, tidak tegak di atas hawa nafsu, kebodohan, kedunguan dan kekacauan -yang saat ini melanda banyak negeri!- yang bersumber dari orang-orang yang tidak menegakkan dakwah mereka di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, namun menegakkan dakwah mereka di atas hawa nafsu –kecuali yang Allah Tabaroka wa Ta’ala selamatkan-.

Universitas Islam ini, -beserta segenap staf dan pendirinya- mengerti akan realita kaum muslimin di dunia Islam yang hidup dalam kebodohan dan jauh dari manhaj Allah yang haq –kecuali hanya sedikit saja-. Oleh karena itu didirikanlah Universitas ini di atas manhaj islam yang shahih (benar), yang terpancar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihi Sholaatu was Salaam. Empat perlima mahasiswanya adalah dari anak-anak dunia islam (luar negeri), dan dan dua puluh persennya adalah anak-anak dari negeri Haramain Syarifain ini, supaya mereka dapat meneguk dari sumber ilmu yang murni ini dan agar setelah mendapatakan ilmu mereka kembali ke negeri mereka dan menyebarkan kebenaran ini. Ini adalah kebaikan, dan ini adalah petunjuk yang kalian mengetahuinya. “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah : 122)

Ini adalah suatu kesempatan emas bagi kalian, maka pergunakanlah. Dan ambillah ilmu yang bermanfaat yang murni lagi bersih, yang bersandar kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, karena sumber-sumbernya masih banyak di sekitar kalian di kota ini, dan di universitas ini –segala pujian hanya milik Allah-.

Barangsiapa yang menghendaki kebenaran dan kebaikan bagi dirinya, keluarganya, kaumnya dan negerinya, maka hendaklah dia menyingsingkan lengan bajunya dan mengambil ilmu dari para ulama yang ada, yang mana mereka (para ulama) ini mengkhidmatkan diri mereka untuk mengajarkan kebenaran dan menyebarluaskannya, semoga Allah memberkahimu.

Belajarlah kalian dari sumber-sumber (referensi) yang menghimpun aqidah dan manhaj yang benar, bacalah kitab-kitab tafsir salafiyah, yang menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, atau dengan Sunnah Rasulullah, atau dengan pemahaman sahabat yang mulia, yang mana mereka hidup di zaman turunnya wahyu, dan mereka menyertai serta menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, mereka mengetahui maksud-maksud al-Qur'an dan as-Sunnah. Mereka adalah orang-orang yang paling layak utl dijadikan rujukan dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah Rasulullah yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam pernah bersabda, dan menceritakan tentang Firqoh Najiyah (golongan yang selamat) : “Mereka adalah orang-orang yang berada di atas (pemahaman)-ku dan sahabatku”[5]

Pemahaman sahabat yang mulia tehadap agama Allah yang haq ini, yang mereka ambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ucapan, perbuatan, pendidikan dan pengarahan beliau ‘alaihi Sholaatu wa Salam, maka wajib kita jadikan sebagai referensi. Mereka adalah orang-orang mukmin yang dimaksudkan oleh firman Allah Tabaroka wa Ta’ala : “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas atasnya petunjuk dan mengikuti jalannya selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’ : 115). Ini adalah ancaman yang pedih bagi siapa saja yang menentang Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (para sahabat, ed.).

Perhatikanlah benar-benar perkara ini, dan bersemangatlah kalian untuk memahami jalannya orang-orang mukmin, yang mereka menyandarkan (pemahaman)-nya dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan dari tazkiyah serta tarbiyah beliau terhadap mereka di atas al-Kitab dan al-Hikmah, semoga Allah memberkahimu.

Ini adalah kesempatan baik bagimu, fahamilah dari mereka (sahabat) agama Allah yang haq ini, dan berusahalah dengan segala kesungguhan kalian di dalam memenangkan agama ini di atas seluruh agama lainnya dengan hujjah (argumentasi yang terang) dan burhan (keterangan yang jelas).

Hendaklah kalian menuntut ilmu dari sumbernya yang asli, dari kitab-kitab tafsir salafiy dan kitab-kitab aqidah salafiyah, yang terpancar dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, yang akan menjelaskan kepada kalian perbedaan antara jalannya orang-orang mukmin yang shadiq (jujur) dengan jalannya mubtadi’in (pelaku bid’ah) yang menyelisihi manhaj Allah yang haq. Mereka, yaitu orang-orang mukmin yang shadiq –demi Allah- adalah pengemban amanat ummat ini terhadap agama Allah Azza wa Jalla, terhadap keselamatan aqidah dan manhajnya, dan terhadap ketetapannya (ketsabatannya) di atas apa yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Termasuk hal yang sudah kalian fahami adalah, bahwasanya merupakan suatu kewajiban atas kita untuk meneladani Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, berpegang teguh dengan keduanya, dan menggigitnya dengan gigi geraham, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ketika menasehati sahabatnya dengan nasehat yang indah yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati menjadi bergetar, mereka meminta kepada beliau agar memberikan nasehat kepada mereka, mereka berkata : “Wahai Rasulullah, seolah-olah ini nasehat perpisahan, maka berikanlah wasiat kepada kami”, lantas Rasulullah bersabda, “Aku menasehatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah…”, perhatikanlah wasiat ini! “ dan untuk tetap mendengar dan taat (kepada pemimpin kaum msulimin, ed.), sesungguhnya barang siapa diantara kalian masih hidup akan melihat perselisihan yang amat banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus (ar-Rasyidin) lagi mendapat petunjuk (al-Mahdiyin), gigitlah dengan gigi geraham, dan jauhilah perkara-perkara yang baru (muhdats) karena setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.[6]”

Nasehat ini mengandung wasiat untuk bertakwa kepada Allah, yang merupakan suatu keharusan darinya, dan tidaklah hal ini termanifestasikan melainkan hanya pada diri ulama yang jujur lagi shalih, sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (Fathir : 28).

Maka bertakwalah kalian kepada Allah Azza wa Jalla agar kalian dapat mencapai derajat ini (derajat ulama, ed.), dan belajarlah agar kalian dapat mencapai kedudukan mereka. Karena barang siapa yang mengetahui aqidah dan manhaj yang benar, hukum, adab dan akhlak yang berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka dialah orang yang takut kepada Allah Azza wa Jalla, karena sesungguhnya takwa itu dapat termanifestasikan melalui perkara-perkara ini seluruhnya.

Dari pengetahuan terhadap perkara ini –sebagaimana telah kami sebutkan-, akan menyebabkan seorang hamba dapat meraih ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla dan meraih khosyah (rasa takut) serta muroqobah (merasa diawasi Allah) pada setiap waktu dan tempat dan pada setiap situasi dan kondisi. Ini merupakan kedudukan yang paling agung –yaitu kedudukan ihsan- (sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril, ed.) : “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu”[7].

Tingkatan ihsan ini, menyebabkan manusia yakin bahwasanya Allah melihatnya, dan Allah mendengar setiap apa yang ia ucapkan, Allah mendengar setiap denyut nadi jantungnya dan getaran keinginannya, bahkan apa yang terbetik pada dirinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan mendengarnya, dan Dia melihat (mengawasi) di saat gerak dan diamnya.

Seorang mukmin sejati akan senantiasa mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya pengagungan, dia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengarkan apa yang ia katakan, dan Allah memiliki “(malaikat-malaikat pengawas) yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (segala perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Infithar : 11-12). Jika perasaan mulia ini terdapat di dalam jiwa seorang mukmin, maka ia akan memperoleh ketakwaan yang akan menjauhkan dirinya dari kemaksiatan, kesyirikan, kebid’ahan serta khurofat, dan dia akan mendapatkan kedudukan ihsan, dikarenakan dia selalu merasa diawasi oleh Allah, dan selalu merasa bahwa Allah melihat dirinya, tidak tersembunyi urusannya di sisi Allah sedikit maupun banyak, walaupun sekecil biji sawi.

Perasaan yang mulia ini akan menghantarkannya –insya Allah- kepada takwa kepada Allah, tidak ada seorangpun dapat mencapai hal ini melainkan dengan mengetahui aqidah shahihah dan syariat yang benar dari perkara halal dan haram, dan mengetahui perintah dan larangan Allah serta janji dan ancaman dari kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka inilah yang berhak mendapatkan pujian Allah Tabaroka wa Ta’ala yang Ia berfirman tentang mereka, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (Fathir : 28) dan firman-Nya, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (al-Mujaadalah : 11).

Maka bersemangatlah kalian dalam di dalam meneladani mereka para ulama, yang menghimpun antara ilmu dan amal. Yang demikian ini merupakan buah dari ilmu yang benar dan takwa kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala serta muroqobah/merasa diawasi oleh-Nya. Hendaklah kalian juga -wahai saudara-saudaraku-, berusaha meraih keimanan yang yang bersih lagi murni, dan ilmu yang bermanfaat serta amal yang shalih. Karena telah berfirman Rabb kita Jalla Sya’nuhu : “Demi masa! Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan senantiasa saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran.” (al-Ashri : 1-3).

Keimanan yang bersih sesungguhnya dibangun di atas ilmu. Amal yang shalih tidak akan terpancar melainkan dari ilmu dan dakwah kepada Allah, yang tidak bisa dijalankan melainkan oleh ahlu ilmi. Bersabar atas setiap gangguan adalah suatu tuntutan bagi orang yang berilmu dan mengajar serta berdakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala –semoga Allah memberkahimu-.

Maka jadilah kalian seperti mereka yang berilmu dan mengimani ilmu ini, yang menyeru kepada ilmu dan keimanan ini, dan bersabar atas gangguan dalam menyampaikan kebenaran dan kebaikan ini kepada manusia, karena merupakan suatu keniscayaan bagi seorang muslim yang beriman ketika berdakwah kepada Allah akan menghadapi gangguan, yang terkadang belum terlintas di dalam benak mereka!

Seorang muslim sebenarnya tidak perlu aneh dengan hal ini, karena sesungguhnya sebaik-baik makhluk Allah telah diuji di jalan Allah dan di jalan dakwah kepada Allah, yaitu para Nabi dan Rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam, dan mereka telah diganggu lebih daripada kita, dan diuji dengan musuh yang lebih sengit permusuhannya dan lebih banyak ketimbang kita, dan inilah makna sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Manusia yang paling keras ujiannya adalah para Nabi kemudian orang-orang yang shalih, kemudian yang serupa dengan mereka.”[8] Dan sabdanya pula : “Tidak ada seorangpun yang diuji sebagaimana diriku diuji di jalan Allah.”[9]

Barangsiapa yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, serta menyeru kepadanya, niscaya dia akan diuji –kecuali yang dikehendaki oleh Allah-. Maka persiapkan dirimu dengan kesabaran, karena “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (az-Zumar : 10), dan Allah telah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk bersabar sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi, Allah Yang Maha Suci berfirman kepada beliau : “Bersabarlah dirimu sebagaimana bersabarnya Ulul Azmi dari para rasul dan janganlah kamu meminta disegerakannya adzab bagi mereka (kaum musyrikin)” (al-Ahqaf : 35).

Pada diri Rasulullah dan seluruh nabi Allah terdapat tauladan yang baik bagi kita. Rasulullah diperintahkan untuk meneladani para nabi sebelumnya dan berpedoman dengan petunjuk mereka. Dan kita diperintahkan untuk meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan bersabar sebagaimana sabarnya beliau ‘alaihi Sholatu wa Salam, “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah bagi orang-orang yang mengharap Rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (al-Ahzab : 21). Suri tauladan yang baik begitu sempurna pada seluruh keadaan yang dimiliki oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Tauladan pada aqidah beliau, maka kita harus beraqidah sebagaimana aqidah beliau. Tauladan pada ibadah beliau maka kita harus beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama ini untuk-Nya dan ittiba’ (mencontoh) ibadah yang telah diajarkan Rasul yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam. Tauladan pada akhlak beliau yang agung yang mana banyak para da’i yang menyeru kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dan mayoritas para pemuda tidak memilikinya bahkan sebagian besar pemuda –atau bahkan semuanya- melupakannya. Padahal sesungguhnya Allah memuji Rasul-Nya ‘alaihi Sholatu wa Salam dengan pujian yang dalam dan sanjungan yang harum, firman-Nya : “Dan sesungguhnya padamu wahai Muhammad terdapat perangai yang agung” (al-Qolam : 4).

Seorang da’i yang menyeru ke jalan Allah, penuntut ilmu, pemberi pengarahan dan penasehat, mereka seluruhnya membutuhkan untuk menelusuri jejak Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam aqidah, manhaj dan akhlak beliau. Jika perkara ini terkumpul secara sempurna atau mendekati kesempurnaan pada seorang da’i yang menyeru ke jalan Allah, maka akan berhasil dakwah ini insya Allah. Seorang da’i tersebut hendaknya menampulkan dakwah ini di dalam bentuk yang paling indah dan paling baik, semoga Allah memberkahimu.

Jika seorang da’i dalam urusan dakwahnya tidak memiliki akhlak yang mulia seperti sabar, hikmah, ramah dan lemah lembut atau perkara lainnya yang merupakan perkara urgen yang tercermin di dalam dakwah para rasul ‘alaihim ash-Sholatu was Salam, maka yang demikian ini adalah kekurangan yang akan mencelakakan dakwahnya. Oleh karena itu, seorang da’i harus menyempurnakan (perangai) ini.

Banyak manusia terkadang lalai dari perangai ini! Hal ini jelas membahayakan dakwah salafiyah dan pengikutnya (yaitu salafiyin, pent.). Karena lalai dari akhlak ini dan mengedepankan dakwah ini kepada manusia dengan cara yang mereka benci, atau mereka anggap jelek dan mereka pandang menakutkan, dari perangai yang keras, kaku, gegabah atau yang semisalnya, akan merintangi jalannya dakwah sehingga manusia tidak mau menerimanya. Sesungguhnya perangai-perangai ini dibenci di dalam urusan dunia apalagi di dalam urusan agama. Oleh karena itu merupakan keharusan bagi penuntut ilmu untuk meniti jalan akhlak yang mulia dalam berdakwah. Demikian pula, seyogyanya anda wahai saudaraku, bercermin kepada atsar yang datang tentang cara berdakwah ke jalan Allah dengan mempelajari sirah (sejarah) Rasul, mempelajari akhlak, aqidah dan manhaj beliau.

Sebagian manusia ada yang tidak menghiraukan aqidah dan manhaj Rasulullah, namun mereka mengikuti manhaj-manhaj dan aqidah-aqidah lainnya yang diada-adakan oleh Syaithan untuk orang-orang yang dihinakan Allah dari ahlul bid’ah dan ahli kesesatan. Ada pula manusia yang mencocoki dengan aqidah beliau saja namun menelantarkan manhaj! Ada pula manusia yang mencocoki aqidah dan manhaj beliau, namun perangai mereka menyia-nyiakan aqidah dan manhaj. Mereka memiliki kebenaran di sisi aqidah dan manhajnya yang benar, akan tetapi perangai dan uslub (cara) mereka di dalam berdakwah merusak dakwah itu sendiri dan membahayakannya.

Berhati-hatilah kalian dalam menyelisihi aqidah, manhaj dan dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Wajib bagi kalian mempelajari bagaimana cara nabi ‘alaihis Sholatu was Salam menyeru manusia, dan teguklah taujihat (pengarahan) nabawi ini yang mengandung hikmah, kesabaran, kelembutan, sifat pemurah, sifat pemaaf, lemah lembut, kasih sayang, dan perangai lainnya.

Ambillah (manhaj nabi dalam berdakwah ini, pent.) wahai saudaraku dan ketahuilah bahwa merupakan suatu keharusan mengimplementasikannya di dalam dakwah kita kepada manusia. Jangan ambil satu sisi dari Islam dan meninggalkan sisi lainnya, atau satu aspek dari metode dakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala namun meninggalkan aspek lainnya, karena hal ini akan membahayakan agama Allah Azza wa Jalla dan membahayakan dakwah ini dan orang-orangnya.

Demi Allah, tidaklah dakwah salafiyah ini tersebar di zaman ini –dan sebelumnya- melainkan melalui tangan (upaya) dari para ulama yang berilmu yang memiliki hikmah dan kelemahlembutan, yang meneladani metode Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka menerapkannya sekuat tenaga, semoga Allah senantiasa memberikan manfaat dengan keberadaan mereka, sehingga menyebar dakwah salafiyah ini ke seantero dunia, adalah dengan akhlak, ilmu dan hikmah mereka.

Namun akhir-akhir ini, kami melihat bahwa dakwah salafiyah semakin surut dan menyusut, hal ini tiada lain adalah karena telah hilangnya hikmah di tengah-tengah mereka (para ulama tersebut, ed.), bahkan turut hilang pula hikmah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sebelum kelembutan, kasih sayang, akhlak, keramahan, dan kelemahlembutan beliau ‘alaihis Sholatu was Salam.

‘Aisyah pernah mencerca seorang Yahudi, lantas nabi bersabda kepadanya : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu mencintai kelemahlembutan pada seluruh perkara”[10]. Hadits ini, jika ada seorang ‘alim menyebutkannya hari ini dalam rangka mengajak para pemuda kepada manhaj yang benar di dalam berdakwah kepada Allah, maka niscaya mereka akan berkata : ini tamyi’!!! (manhaj yang lunak).

Akhlak-akhlak yang mulia ini jika disebutkan, seperti hikmah, ramah, lemah lembut, kasih sayang dan pemaaf, yang mana hal ini merupakan kebutuhan dakwah kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala dan merupakan aktivitas yang dapat memikat manusia kepada dakwah yang benar, maka dampak yang dihasilkannya adalah : masuknya manusia ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong.

Akan tetapi mereka –al-Mubaddilin (orang-orang yang senang merubah)-, mereka mempersembahkan at-Tanfir (menyebabkan manusia menjadi lari), sembari melupakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Sesungguhnya ada diantara kalian ini munaffirin (orang yang menyebabkan manusia menjadi lari, pent.)[11]” dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam : “Permudahlah janganlah kalian persulit, berilah kabar gembira janganlah kalian menyebabkan mereka lari”[12].

Wahai saudara sekalian, sungguh mereka tidak sadar! Demi Allah, Bahwa mereka telah menuduh Rasulullah sebagai mumayyi’ (orang yang lunak manhajnya, pent.) demikian pula para sahabat dan para ulama’ juga dituduh sebagai mumayyi’un. Dengan metode mereka yang tasyaddud (keras) dan bengis yang menghancurkan dakwah salafiyah ini, mereka secara tidak langsung telah menganggap Rasulullah yang menyeru kepada kelemahlembutan, hikmah dan kasih sayang sebagai mumayyi’, kami mohon ampunan kepada Allah!!!

Demi Allah! Mereka tidak menghendaki hal ini dan mereka tidak bermaksud begini! Akan tetapi mereka tidak sadar! Maka wajib bagi mereka –mulai sekarang- untuk memahami dampak dan akibat dari perbuatan semacam ini. Dan sesungguhnya kami –demi Allah- bersungguh-sungguh, mengobservasi, menulis, menasehatkan dan mengajak dengan kelemahlembutan ke jalan Allah Ta’ala namun mereka menganggap kami sebagai mumayyi’in, mereka tidak menginginkan kami mengucapkan kata hikmah, ramah dan lemah lembut. Kami telah melihat bahwa asy-Syiddah (kekerasan) telah menghancurkan dakwah salafiyah dan mengoyak-ngoyak salafiyin, lantas apa yang kita lakukan? Maka aku katakan -wahai saudaraku sekalian- : ketika kita melihat api menyala, apakah kita tinggalkan begitu saja sehingga semakin berkobar?! Ataukah kita mendatanginya dengan perkara ini (manhaj nabi yang lemah lembut, pent.) yang akan memadamkan kobaran api itu?!

Maka aku terpaksa –dan ini adalah kewajibanku -dan aku telah mengatakannya sebelum ini-, bahkan aku menekankan kembali tatkala kulihat kegoncangan dan bencana ini, aku katakan : Wajib atas kalian untuk berlemahlembut! wajib atas kalian bersikap ramah! wajib atas kalian untuk saling bersaudara! dan wajib atas kalian saling menyayangi! Karena sesungguhnya kekerasan ini (sekarang) tertuju kepada ahlus sunnah sendiri, tatkala mereka meninggalkan ahlul bid’ah dan mereka tujukan perangai syiddah (kekerasan) yang membinasakan ini kepada ahlus sunnah, dan menyeruak ke dalamnya penganiayaan dan tindakan-tindakan batil lainnya yang zhalim!

Maka jauhilah! Dan sekali lagi jauhilah jalan yang dapat membinasakan kalian ini dan menghancurkan dakwah salafiyyah dan salafiyin! Berdakwahlah kepada Allah Ta’ala dengan segenap kemampuan kalian dengan hujjah (keterangan yang jelas) dan burhan (argumentasi yang terang) di setiap tempat, dengan menukil firman Allah dan sabda Rasulullah, dan mohonlah pertolongan atas hal ini kepada Allah- kemudian kepada ucapan para a`immatul huda (imam-imam yang lurus), yang mana keimaman dan kedudukan mereka di dalam Islam diterima baik oleh Ahlus Sunnah maupun ahlul bid’ah.

Aku nasehatkan kepada saudaraku yang akan pergi ke Afrika, atau ke Turki, atau ke India –atau selainnya- (dalam rangka berdakwah, ed.) untuk senantiasa bermodalkan dengan firman Allah, sabda Rasulullah dan perkataan dari para imam yang mereka hormati. Jika anda pergi ke Afrika, misalnya, anda katakan : Ibnu Abdil Bar berkata, Malik berkata, Fulan berkata –dimana banyak dan tidak sedikit manusia di sana memiliki aqidah yang rusak!-, jika anda mendatangi mereka dengan Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, kemudian kalian datangkan perkataan para ulama, niscaya mereka akan mendengarkan perkataan anda dan mereka akan memperhatikan anda. Inilah hikmah! Namun, jika anda datang dengan perkataan dari diri anda sendiri maka akibatnya bisa jadi mereka tidak menerima satupun dari anda.

Anda juga harus memulai perkataan anda setelah dengan Firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan perkataan para ulama, yang mana mereka (para ulama tersebut, pent.) memiliki kedudukan dan tempat di dalam diri manusia dan mereka tidak mampu mencela ulama tersebut maupun ucapan mereka. Jika anda berkata : ‘Bukhari mengatakan ini dan itu’, maka sesungguhnya mereka menghormatinya. Sebagai contoh, misalnya kaum sufi di setiap tempat, mereka menghormati Bukhari dan Muslim, dan mereka juga menghormati kedua kitab mereka (shahihain, pent.) dan kedua imam tersebut, mereka juga menghormati Ahmad bin Hanbal, Auza’i, Sufyan ats-Tsuri dan selain mereka dari para ulama besar terdahulu.

Dengan demikian, sesungguhnya hal ini dapat menjadi ikatan antara diri kita dengan mereka di dalam kebenaran, ada tempat-tempat untuk bertemu yang kita dapat menembus mereka dengan jalan ini. Dan hal ini adalah termasuk hikmah -wahai saudaraku-. Oleh karena itu tidaklah sepatutnya anda mengatakan kepada mereka –pertama kali- : ‘Ibnu Taimiyah berkata’, sembari menyebutnya imam, dikarenakan mereka masih bodoh dan tidak mengenal beliau, dan sekiranya mereka mengetahuinya maka niscaya mereka akan membencinya disebabkan dari apa yang mereka dengar dari pembesar-pembesar mereka yang mana tidak menghendaki dan menginginkan beliau. Semoga Allah memberkahimu.

Katakan! : ‘Ibnu Taimiyah berkata’, di tengah-tengah salafiyin yang menghormati beliau. Namun janganlah anda katakan di tengah-tengah selain salafiyin : ‘Ibnu Taimiyah berkata’ atau ‘Ibnu Abdul Wahhab berkata’ –misalnya-, dikarenakan mereka masih jahil dan mereka dididik di tengah-tengah ahlul bid’ah yang lari dari hal ini, dan syaikh-syaikh mereka menyebabkan mereka lari pula dari mereka (para ulama tersebut, pent.). Katakan kepada mereka nama-nama para Imam yang mereka mengakuinya dan menghormatinya, dikarenakan pemimpin dan syaikh mereka menjelekkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdul Wahhab serta para ulama dan para imam dakwah, sebagaimana baru kusebutkan.

Janganlah anda mendatangi mereka dari pintu ini, karena hal ini tidaklah termasuk hikmah. Tapi, masuklah dari pintu : ‘Malik berkata’, ‘Sufyan ats-Tsauri berkata’, ‘al-Auza’i berkata’, ‘Ibnu ‘Uyainah berkata’, ‘Bukhari berkata’, ‘Muslim berkata dalam juz sekian halaman sekian’, dan yang semisalnya, maka anda akan diterima. Kemudian, jika mereka telah menerima anda, mereka nantinya akan menghormati Ibnu Taimiyah dan mengetahui bahwasanya beliau berada di atas kebenaran, mereka akan menghormati Ibnu Abdul Wahhab dan mengetahui pula bahwasanya beliau juga di atas kebenaran. Semoga Allah memberkahimu… demikianlah…!!!

Aku katakan : hal ini merupakan peringatan kepada perangai hikmah di dalam mendakwahi manusia ke jalan Allah Tabaroka wa Ta’ala. Termasuk diantara juga yaitu : janganlah kalian memaki jama’ah mereka, “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (al-An’am : 108).

Aku berkata : ketika aku berkunjung ke Sudan, aku beristirahat di Bur Sudan, beberapa pemuda Ansharus Sunnah datang menyambutku dan mereka berkata : “Wahai Syaikh, kami menginginkan sesuatu dari anda”.

Aku menjawab : “silakan”

Mereka berkata : “Berbicaralah apa yang anda kehendaki. Ucapkanlah: Allah berfirman, Rasulullah bersabda. Dan celalah sekehendak anda segala kebid’ahan dan kesesatan, baik itu do’a kepada selain Allah, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan selainnya. Namun anda jangan menyebut kelompok ini dan itu!, dan jangan pula syaikh fulan! Janganlah anda menunjuk Tijaniyah bagian dari kelompok-kelompok (sesat, ed.)! Jangan pula Bathiniyah! Jangan pula pembesar-pembesar mereka. Akan tetapi, perbaikilah aqidah niscaya kebenaran yang anda bawa akan diterima.” Aku berkata kepadanya : “Baiklah” lantas aku mengikuti cara ini dan kudapatkan manusia menerima dengan penerimaan yang luar biasa.

Janganlah anda menduga wahai penuntut ilmu, bahwasanya termasuk kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah harus memaki syaikh-syaikh mereka dan mencela mereka! Karena Allah Subhanahu berfirman : “Dan janganlah kalian memaki berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (al-An’am : 108). Jika anda memaki seorang syaikh! Atau anda katakan : (syaikh ini) sesat! Atau begini! Atau thoriqoh fulan (begini)! Maka metode ini menurut kami menyebabkan mereka lari darimu, anda telah berbuat salah, dan anda telah menjadikan manusia lari, kalau begitu anda adalah munaffirun (sebagaimana dalam hadits yang telah berlalu, pent.).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman beliau berpesan : “Permudahlah janganlah kalian persulit, dan berilah kabar gembira janganlah menyebabkan orang lari”[13]

Hal ini termasuk cara yang Taysir (mempermudah) dan tabsyir (memberikan berita gembira), tidak ada di dalamnya tanfir. Dan demi Allah, tidaklah aku memasuki masjid melainkan aku melihat wajah mereka berbinar-binar, dan aku tidak mampu keluar karena banyaknya orang yang datang menemuiku dan menyalamiku serta menyapaku.

Kemudian ketika pembesar-pembesar sufiyah syaithaniyah melihat bahayanya dakwah yang benar ini, mereka berkumpul dan membuant makar serta merangkai kata sepakat untuk membantahku. Mereka mengumumkan tentang ceramahku di wilayah yang lebih luas. Kemudian kami berkumpul di wilayah tersebut, dan akupun berbicara, lantas berdiri seorang pembesar mereka dan mengomentari perkataanku, dan mulai membolehkan istighotsah, tawasul, dan berbicara tentang ta’thil (peniadaan) sifat Allah, dan dia berkata dan berkata… dan dia memperkuat kebatilannya dengan takwil-takwil yang rusak!

Setelah dia selesai –dan dia kehabisan dalil, dia hanya mendatangkan hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu’ (palsu) dan mendatangkan ucapan-ucapan Asqorothiyyin (pengikut asyqrot, seorang filsuf, ed.)-. Aku berkata : Wahai jama’ah, kalian telah mendengar ucapanku, aku berkata : Allah berfirman, Rasulullah bersabda, Ulama’ umat yang terkenal berkata, dan orang ini datang dengan hadits palsu, dan aku tidak mendengar darinya al-Qur’an sedikitpun! Apakah kalian pernah mendengar : Allah berfirman begini tentang bolehnya istighotsah kepada selain Allah??! Tentang bolehnya tawasul??! Apakah kalian pernah mendengarkan ucapan ulama besar seperti Malik dan semisalnya tentangnya??! Kalian tidak pernah mendengarnya! Sesungguhnya yang kalian dengar (darinya) hanyalah hadits-hadits palsu dan lemah, dan perkataan-perkataan orang-orang yang kalian telah mengenalnya sebagai khurofiyun (penggemar khurofat, pent.)! Tiba-tiba berdiri seorang khurofiy sembari memaki-maki dan mencela! Lantas aku tersenyum, aku tidak membalas makiannya tidak pula celaannya, dan aku tidak mengucapkan sesuatupun ketika itu melainkan hanya : Semoga Allah memberkahimu! Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan! Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan! Semoga Allah memberkahimu!.

Kamipun berpisah, dan demi Allah yang tiada sesembahan yang haq kecuali Dia, ketika masuk waktu pagi –pada hari kedua- orang-orang sedang bercerita di masjid-masjid dan pasar-pasar bahwa kelompok sufi telah terkalahkan! Maka pelajarilah wahai saudara-saudara sekalian metode syar’iyah dan shahihah ini. Tujuan dakwah adalah menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus dan menanamkan kebenaran ke dalam hati manusia!

Wahai saudaraku, wajib atasmu untuk mempergunakan segala sarana yang kalian sanggupi dari sarana-sarana yang syar’i di dalam jalan dakwah kepada Allah. Bukanlah yang kita maksud adalah (ucapan) tujuan memperbolehkan segala cara! Hal ini termasuk metodenya Ahlul Bid’ah. Dengan sebab kaidah tadi (yaitu, tujuan memperbolehkan segala cara, pent.) mereka terjerumus kepada kedustaan, kerancuan, kelicikan dan kepicikan! Sebagaimana yang diutarakan oleh Imam ‘Ali bin Harb al-Mushili : “Seluruh pengikut hawa nafsu itu selalu berdusta dan mereka tidak peduli”[14].

Hal ini semuanya bukanlah perangai kita, karena kita adalah ahlu shidqi (pemilik kejujuran) dan ahlu haqqi (pemilik kebenaran). Akan tetapi kita menghidangkan dakwah ini kepada manusia dalam bentuk yang bisa diterima setiap orang dan bisa menarik hati mereka. Semoga Allah memberkahi kalian.

Kemudian kami pergi ke Kasala –sebuah tempat di Sudan juga-, dan masya Allah, dakwah di sana sangat berkembang pesat dengan baik, segala puji hanya milik Allah. Kami sempat berceramah di sana dan semoga Allah menjadikan ceramah kami tersebut bermanfaat.

Kemudian kami pergi ke al-Ghizhorif, yaitu sebuah kota kecil di sana, kami berkeliling ke seluruh masjid di sana. Mereka berkata : tidak ada di kota ini kecuali satu masjid yang dikuasai Tijaniyah sedangkan kami tidak mampu menembusnya! Aku bertanya : kenapa? Mereka menjawab : Mereka sangat fanatik sekali. Aku berkata : kita pergi menemui dan meminta izin kepada mereka, jika mereka mengizinkan kita berbicara maka kita sampaikan, dan jika mereka melarang kita maka kita memiliki udzur di sisi Allah, serta tidak selayaknya kita menghadapi mereka dengan paksaan dan kekuatan. Semoga Allah memberkahimu.

Kamipun tiba dan kami sholat bersama imam, setelah selesai akupun datang dan mengucapkan salam kepadanya, dan aku berkata kepadanya : Apakah anda mengizinkan diri saya untuk menyampaikan beberapa patah kata bagi saudara-saudara kami di sini?, Ia berkata : Silakan. Maka akupun berbicara, aku menyeru mereka kepada Allah, kepada Tauhid, Sunnah dan kepada hal-hal lain dari perkara yang menyangkut ilmu. Dan aku mengkritik beberapa kesalahan yang ada, dan beberapa kesesatan, hingga aku sampai kepada hadits ‘Aisyah Radhiallahu 'anha yang muttafaq ‘alaihi : “Tiga hal, barang siapa yang berbicara dengan salah satu dari ketiganya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, yaitu barangsiapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, dan barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad mengetahui apa yang akan terjadi besok maka ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah, -dan akupun membawakan dalil-dalil tentang perkataan ini- serta barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad tidak menyampaikan apa yang diturunkan atasnya maka ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah”[15].

Sang imam pun berdiri dan ia tampak gelisah, kemudian ia berkata : Demi Allah, sesungguhnya Muhammad melihat Rabnya dengan kedua mata kepalanya! Aku menjawab : Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adapun Aisyah, dia adalah manusia yang paling mengetahui tentang diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ia berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad melihat Rabnya maka sungguh ia telah berbuat kedustaan yang besar terhadap Allah”. Jika sekiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat Rabnya ia pasti akan mengabarkannya kepada kita namun ia tidak mengabarkannya.

Maka dia mulai membuat gaduh dan mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, aku berkata kepadanya : Wahai saudaraku, tunggulah sebentar sampai aku menyelesaikan perkataanku, setelah itu anda boleh bertanya apa saja sesuka anda, jika aku mengetahui jawabannya maka aku akan menjawabnya dan jika aku tidak mengetahuinya maka aku akan berkata kepadamu, Allahu a’lam, akupun meninggalkannya dan kulanjutkan perkataanku. Aku tidak tahu apakah ia tetap tinggal ataukah pergi! Aku benar-benar tidak tahu karena aku tidak menoleh kepadanya. Kemudian aku mendengar seorang lelaki berkata : “Demi Allah, perkataan orang ini adalah benar” (dengan logat Sudan, pent.), kemudian aku mendengar untuk kesekian kalinya ungkapan yang serupa dari selainnya dengan tambahan : “orang ini berkata dengan firman Allah dan sabda Rasulullah”. -Semoga Allah memberkahi kalian-. Sampai tiba adzan isya’, ceramahku telah selesai dan sholat akan ditegakkan, kemudian mereka menghendaki aku mengimami mereka! Maka aku menjawab : jangan, aku tidak layak jadi imam, Imam (rawatib) kalian yang layak mengimami, mereka berkata : Demi Allah sholatlah (jadi imam), aku menjawab : Baik, dan akupun mengimami mereka. Setelah selesai shalat aku menunggu, kemudian aku dan beberapa pemuda Ansharus Sunnah keluar bersama-sama, aku bertanya kepada mereka : Kemana perginya imam? Mereka menjawab : Mereka mengusirnya! Aku bertanya kembali : Siapa yang mengusirnya? Mereka menjawab : Demi Allah, jama’ahnya sendiri.

Jika sekiranya seseorang datang dan membodohbodohkan Tijaniyah Mirghaniyah! Maka barangkali mereka akan membunuhnya, tidak hanya diusir saja. Namun jika anda datang dengan hikmah dan kelembutan, semoga Allah memberkahi kalian- maka niscaya Allah akan menjadikannya bermanfaat bagi mereka.

Persembahkanlah wahai saudaraku, ilmu yang bermanfaat, hujjah yang pasti dan hikmah yang berfaidah di dalam dakwahmu. Dan wajib atas kalian berakhlak dengan setiap akhlak yang indah dan mulia, yang mana hal ini dianjurkan oleh al-Kitab dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya hal ini merupakan upaya kemenangan dan keberhasilan.

Sesungguhnya para sahabat tidak menyebarkan Islam sehingga merasuk ke dalam hati manusia melainkan karena hikmah dan ilmu mereka, yang hal ini lebih banyak daripada dengan hunusan pedang. Akan tetapi, barangsiapa yang masuk ke dalam Islam karena di bawah naungan pedang mungkin tidak bisa tetap keimanannya. Namun orang-orang yang masuk ke dalam Islam dari jalan ilmu, hujjah dan burhan maka keimanannya tetap/istiqomah –dengan izin dan Taufiq Allah-.

Wajib bagi kalian berpegang dengan jalan-jalan kebaikan ini, dan wajib bagi kalian bersungguh-sungguh di dalam ilmu dan di dalam dakwah kepada Allah. Kemudian aku mengingatkan kalian –wahai saudaraku- dari dua perkara ini :

Pertama : Untuk saling bersaudara diantara sesama Ahlus Sunnah seluruhnya. Maka wahai sekalian salafiyun, bangkitkan ruh kecintaan dan persaudaraan diantara kalian, dan aplikasikan apa yang diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang orang-orang mukmin yang “Bagaikan satu tubuh, satu dengan lainnya saling menguatkan”[16] dan mereka itu “Bagaikan tubuh yang satu, jika satu bagian mengeluh maka akan menyebabkan seluruh tubuh lainnya merasakan demam dan sakit”[17]. Jadilah seperti ini wahai saudaraku, jauhilah oleh kalian perbuatan yang dapat menghantarkan kepada perpecahan, karena sesungguhnya hal ini adalah perbuatan yang jelek lagi berbahaya dan penyakit yang parah.

Kedua : Jauhilah oleh kalian sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada permusuhan dan kebencian, serta perpecahan dan saling menjauh. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara ini, karena perkara ini telah menyebar akhir-akhir ini melalui tangan orang-orang yang Allah lebih mengetahui keadaan dan tujuan mereka. Sehingga perkara ini menyebar, dan berkembang serta mengoyak-ngoyak para pemuda di negeri ini –baik di Universitas maupun selainnya- atau di seluruh antero dunia.

Mengapa?! Dikarenakan telah turun ke medan dakwah orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman. Dan boleh jadi ada musuh yang menyusup ke tengah-tengah salafiyun dalam rangka mengoyak-ngoyak dan memecah belah mereka. Perkara ini bukan hal yang mustahil –selamanya-, bahkan benar-benar terjadi. Semoga Allah memberkahi kalian. Bersemangatlah kalian dalam sikap saling bersaudara, dan jika muncul di antara kalian sesuatu hal yang tidak disukai, maka berusahalah melupakan masa lalu[18] dan keluarkan lembaran putih yang baru sekarang.

Dan aku berkata kepada saudara-saudaraku sekalian :

Orang-orang yang memiliki kekurangan maka tidak sepatutnya kita menyalahkannya dan mencercanya, dan orang-orang yang tersalah diantara kita, janganlah kita mencercanya, Semoga Allah memberkahi kalian, namun seyogyanya kita mengobatinya dengan kelembutan dan hikmah, kita obati dengan kecintaan dan kasih sayang serta dengan seluruh akhlak yang shalih, dengan dakwah yang benar hingga ia mau kembali, jika masih tertinggal dalam dirinya kelemahan, maka janganlah kita tergesa-gesa mengambil sikap terhadapnya, jika tidak maka demi Allah tidak akan tersisa seorangpun, tidak akan tersisa seorangpun (kecuali akan dicela semuanya, ed.)!

Sebagian manusia sekarang ini, mengusik salafiyin sampai-sampai ulama pun mereka sebut sebagai mumayyi’in! Saat ini, tidaklah tersisa di daerah manapun seorang alim –atau yang dekat dengannya- melainkan dirinya dicela dan dijelekkan! Hal ini –tentu saja- merupakan metodenya Ikhwanul Muslimin dan Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya Ahlul Bid’ah itu, diantara senjata mereka adalah memprakarsai dalam menjatuhkan ulama, bahkan metode ini merupakan metode Yahudi Masoniyah yang mana jika mereka menghendaki untuk menjatuhkan suatu pemikiran maka mereka jatuhkan ulama atau pribadi individu-individunya!! Karena itu jauhilah perangai yang jelek ini dan hormatilah para ulama.

Demi Allah, tidaklah ucapanku dicela dan tidaklah apa yang kita pegangi dimaki, melainkan untuk menghancurkan manhaj ini. Maka orang yang membenci manhaj ini, ia akan berbicara (jelek) tentang ulamanya, dan barangsiapa yang membenci manhaj ini dan menginginkan kehancurannya, ia akan meniti jalan ini (yaitu celaan dan makian terhadap ulama, pent.), dan jalan ini terbuka bagi mereka –jalannya yahudi dan jalannya kelompok-kelompok sesat dari rofidhah dan selainnya.

Rafidhah itu sebenarnya membenci Islam, mereka tidak mampu berbicara langsung (mencela) tentang Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh karena itu mereka berbicara (mencela) tentang Abu Bakr dan Umar serta ulama ummat ini, mereka pada hakikatnya menginginkan hancurnya Islam. Demikian pula para pelaku bid’ah, jika mereka berbicara, mereka tidak langsung berbicara tentang Ahmad dan Syafi’i, namun mereka berbicara tentang Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah –dan yang semisal dengan keduanya- untuk menghancurkan manhaj ini. Dan sekarang, ada manusia yang tumbuh di dalam barisan salafiyin, tidaklah kurasakan melainkan mereka memecahkan kepala para ulama! apa yang mereka inginkan?! Apa yang mereka kehendaki?! Seandainya mereka menghendaki Allah dan kampung akhirat, dan menghendaki menolong manhaj ini –dan mereka mencintai manhaj ini- maka demi Allah, seharusnya mereka membela ulama-ulamanya. Jangan kalian ambil ilmu agama dari mereka dan jangan pula kalian percayai mereka, semoga Allah memberkahi kalian-, maka waspadailah mereka dengan kewaspadaan penuh dan hendaklah kalian saling merapatkan (barisan) dan saling bersaudara diantara kalian.

Aku tahu bahwa kalian bukan orang yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) dan tidaklah para ulama itu juga ma’shum –karena terkadang kami juga salah- Ya Allah, kecuali jika ada yang masuk ke dalam rafidhah mu’tazilah, jahmiyah ataupun kedalam hizbiyah (kepartaian) dari hizbi-hizbi lainnya, maka yang demikian ini harus disingkirkan.

Adapun seorang salafiy yang berwala’ (memberikan loyalitas) kepada salafiyin dan mencintai manhaj salafi -semoga Allah memberkahi kalian- dan membenci ahzab (kelompok-kelompok), bid’ah dan para pelakunya –serta tanda-tanda manhaj salafi ada pada dirinya-, kemudian ada kekurangan padanya dalam beberapa hal, maka kita berlemah lembut kepadanya, dan kita tidak meninggalkannya, namun menasehatinya, menggaulinya dan bersabar atasnya serta mengobatinya –semoga Allah memberkahi kalian-. Adapun orang yang mengatakan : Barang siapa yang salah maka ia binasa! Atas hal ini maka tidak pernah ada seorangpun (yang tidak binasa, pent.)!!!

Oleh karena itu, anda lihat mereka, ketika mereka telah selesai dari para pemuda, mereka mulai menyerang para ulama. Ini adalah manhajnya Ikhwanul Muslimin yang telah masuk ke negeri ini, dan yang pertama kali mereka serang adalah menjatuhkan para ulama. Tapi justru mereka mulai membela Sayyid Quthb, al-Banna, al-Maududi dan selain mereka dari ahlul bid’ah, di sisi lain mereka menjatuhkan para ulama yang bermanhaj salafi dan mensifati mereka sebagai agen, mata-mata atau ulama pemerintah… dan tuduhan-tuduhan lainnya[19]!

Apakah tujuan mereka?! Tujuan mereka adalah menghancurkan manhaj salafi dan membangun kebatilan dan kesesatan di atas reruntuhannya. Dan orang-orang yang mencela sekarang ini, sesungguhnya mereka berkata tentang diri mereka : sesungguhnya mereka adalah salafiyun, kemudian mereka mencela para ulama salafiyah! Apakah yang mereka inginkan? Apakah mereka menginginkan meninggikan bendera/panji Islam? Dan meninggikan bendera sunnah dan manhaj salafi?! Selamanya (tidak)! Selamanya (tidak)! Ini adalah indikasi dan petunjuk bahwasanya mereka adalah pendusta lagi penuduh –apapun yang mereka dakwakan terhadap diri mereka-.

Maka aku mewasiatkan kepada kalian wahai saudara-saudaraku, dan aku tekankan kepada kalian untuk meninggalkan perpecahan. Wajib atas kalian saling bersaudara dan saling menolong dalam kebenaran. Wajib atas kalian menyebarkan dakwah ini –diantara pada thullab (penuntut ilmu) di Universitas dan selainnya- dengan cara yang shahih dan bentuk yang indah, tidak dengan bentuk yang buruk sebagaimana yang dijalani oleh mereka (mutasyaddidin, pent.)!

Kedepankan dakwah salafiyyah –sebagaimana telah kukatakan pada kalian- dengan rupa yang elok : Allah berfirman, Rasulullah bersabda, sahabat berkata, berkata Syafi’i, Ahmad, Muslim dan selainnya dari para imam-imam islam yang mereka hormati dan agungkan serta mereka fahami ucapannya, semoga Allah memberkahi kalian, hal ini akan menolongmu sampai kepada batas yang jauh.

Sungguh, kalian akan mendapatkan beberapa orang yang menentang, namun tidaklah setiap manusia akan menentang kalian. Bahkan kalian akan mendapatkan mayoritas manusia mau menerima dakwah kalian, baik di sini, di Universitas ini maupun ketika kalian telah pulang ke negeri kalian. Gunakanlah cara-cara yang memikat manusia kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, kepada manhaj salaf sholih, aqidah yang shahihah dan manhaj yang shahih.

Aku meminta kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala supaya Ia menuntun kami dan kalian kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya, dan supaya Ia menjadikan kita da’i-da’i yang yang mukhlish dan ulama-ulama yang mengamalkan ilmunya. Semoga Allah menjauhkan kita dari tipu daya Syaithan baik dari golongan jin dan manusia.

Aku memohon kepada Allah Tabaroka wa Ta’ala agar Ia menyatukan hati kalian dan mempersatukan kalimat kalian dimanapun kalian berada dan kemanapun kalian pergi. Aku mohon kepada Allah semoga Ia mewujudkannya.

Semoga Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan atas Muhammad, keluarganya dan para Sahabatnya.







TANYA JAWAB :



Pertanyaan 1 : Aku menjalankan usaha/pekerjaan pengiriman barang dagangan, apakah boleh bagiku mengirimkan barang dagangan salah seorang pedagang yang menjual semacam mushaf, parfum dan majalah-majalah ilmiah syar’iyah karya para ulama yang terkenal berpegang teguh dengan sunnah –baik yang telah lalu maupun kontemporer- tapi ada beberapa yang menyusup ke dalam barang dagangan ini dari sebagian buku-buku Ahli Bid’ah yang majhul (tidak dikenal)?

Jawaban : Aku memandang bahwa pengirimanmu terhadap kitab-kitab Ahli Bid’ah yang tidak dikenal termasuk tolong menolong dalam kejelekan dan dosa. Aku berpendapat janganlah kau mengirimkannya. Tinggalkan orang itu dan cari lainnya karena pintu-pintu rezeki masih terbuka. Kirimlah barang dagangan sayur-mayur atau kirimlah kebutuhan-kebutuhan lainnya dari perkara yang tidak mengandung syubuhat dan keharaman di dalamnya.



Pertanyaan 2 : Wahai Fadhilatus Syaikh, jika ada seseorang yang melakukan kesalahan yang wajib untuk ditahdzir, maka apakah mengharuskan menasehatinya dulu sebelum mentahdzir (memperingatkan) manusia darinya ataukah tidak harus?

Jawaban : Jika keburukannya telah menyebar, maka bersegeralah menasehatinya dan hal ini lebih bermanfaat namun jika dia mau menerima (maka alhamdulillah, ed.) dan jika tidak maka peringatkanlah ummat darinya. Mungkin dengan nasihat yang baik, mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menjadikan nasihat ini bermanfaat bagi orang itu, sehingga ia ruju’ (kembali) dari kebatilannya dan mengumumkan kesalahannya, Semoga Allah memberkahi kalian. Namun jika anda datang dengan menyodorkannya bantahan-bantahan saja, maka dia sulit untuk menerima! Maka gunakanlah wasilah (cara) yang akan meninggalkan bekas yang baik, karena dirimu ketika menasehati dirinya secara empat mata, dan anda tunjukkan sikap-sikap yang halus kepadanya, maka ia akan ruju’ (kembali) –insya Allah- dan mengumumkan kesalahannya (di depan publik, ed.). Hal ini terdapat kebaikan yang besar dan lebih bermanfaat daripada membantahnya. Oleh karena itu, sesungguhnya aku akan memberikan nasehat pertama kali kepadanya, kemudian sebagian orang yang dinasehati menerimanya dan sebagiannya lagi tidak. Maka, kita –saat itu- dengan terpaksa membantah dirinya.

Idza lam yakun illa al-Asinnah markab

Fa maa hiilah al-Mudltharru illa rukuubuha

Jika tidak ada kecuali tombak sebagai kendaraan

Maka tidak ada jalan lain bagi yang terpaksa kecuali menaikinya



Pertanyaan 3 : Wahai Fadhilatus Syaikh, kapankah kita menggunakan al-liin (kelemahlembutan)? Dan kapan pula kita menggunakan syiddah (kekerasan) di dalam dakwah kepada Allah, dan di saat bermuamalah terhadap sesama manusia?

Jawaban : Hukum asal di dalam berdakwah adalah al-Liin (lemah lembut), ar-Rifq (ramah) dan al-Hikmah. Inilah hukum asal di dalam berdakwah. Jika anda mendapatkan orang yang menentang, tidak mau menerima kebenaran dan anda tegakkan atasnya hujjah namun dia menolaknya, maka saat itulah anda gunakan ar-Radd (bantahan). Jika anda adalah seorang penguasa –dan pelaku bi’dah ini adalah seorang da’i- maka luruskanlah ia dengan pedang, dan terkadang ia dihukum mati jika ia tetap bersikukuh dengan menyebarkan kesesatannya. Banyak para ulama dari berbagai macam madzhab memandang bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh Ahlul Bid’ah lebih berbahaya dari para perampok. Oleh karena itu ia harus dinasehati kemudian ditegakkan atasnya hujjah. Jika ia enggan maka diserahkan urusannya kepada hakim syar’i untuk dihukum, bisa jadi hukumannya ia dipenjara, atau diasingkan atau bahkan dibunuh.

Para ulama telah memutuskan hukuman terhadap Jahm bin Shofwan, Bisyr al-Marisi dan selainnya dengan hukuman mati, termasuk juga Ja’d bin Dirham. Ini adalah hukum para ulama bagi orang yang menentang dan tetap keras kepala menyebarkan kebid’ahannya, namun jika Allah memberikannya hidayah dan ia mau rujuk/taubat, maka inilah yang diharapkan.



Pertanyaan 4 : Sebagian pemuda berkata : “Sebagaimana kami bertaqlid kepada Syaikh Albani rahimahullahu dalam masalah hadits, maka demikian pula boleh bertaqlid terhadap para imam Jarh wa Ta’dil di zaman kita ini secara mutlak”, apakah perkataan ini benar?

Jawaban : Syaikh Albani –dan para ulama yang lebih besar dari beliau seperti Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa`i- maka orang yang meneliti perkataan dan pendapat mereka terhadap hadits ada dua golongan, yaitu : Adapun orang yang masih jahil dan tidak mungkin baginya menshahihkan dan mendha’ifkan sebuah hadits, maka dibolehkan bagi mereka bertaqlid. Adapun orang-orang yang mutamakkin (mampu dan kokoh ilmunya), penuntut ilmu yang qowiy (kuat), ‘alim mutamakkin (orang yang ilmunya mantap) yang mampu memilah antara yang shahih dan dha’if, dan dirinya memiliki kemampuan serta ahli dalam memilah-milah antara yang shahih dan dha’if, yang mempelajari biografi rijal (para perawi hadits), mempelajari ilal (cacat hadits), dan lain lain, yang kadang bisa jadi bersesuaian dengan imam tersebut atau menyelisihinya, sesuai dengan pembahasan ilmiah yang tegak di atas manhaj yang shahih dan metodenya Ahli Jarh wa Ta’dil.

Taqlid di dalam masalah Jarh wa ta’dil, semoga Allah memberkahi kalian, adalah : Jika seandainya seorang manusia tidak memiliki kapabilitas ilmu, dia mengambil ucapan Bukhari, Muslim, Abu Dawud (yang berkata) : Fulan kadzdzab (pendusta), Fulan Sayyi`ul Hifzhi (memiliki hafalan yang buruk), Fulan wahin (lemah), Fulan matruk (ditinggalkan), Fulan begini, dan dia tidak mendapatkan seorangpun yang menolaknya, maka diambil perkataannya dikarenakan perkataannya merupakan khobar (berita) bukanlah fatwa. Hendaklah dia menerima perkataannya karena ucapan tersebut merupakan khobar, sedangkan menerima khobar (berita) tsiqot (orang yang kredibel) merupakan perkara yang urgen yang tidak boleh tidak!

Namun, jika ada seorang penuntut ilmu dan dia mendapatkan orang yang menyelisihi seorang ulama yang menjarhnya, kemudian dia temukan imam lainnya telah menyelisihinya dan memujinya, maka pada saat itu ia harus menjelaskan jarhnya. Tidak serta merta langsung diterima ucapan sang Jarih jika ada ulama lain yang menentang tajrih ini.

Jika tidak ada seorangpun yang menentang maka diterima (tajrihnya), dan jika ada yang menentang (jarh tersebut) maka haruslah menerangkan sebab-sebab jarh-nya, semoga Allah memberkahi kalian, dan perkara ini ada di dalam kitab-kitab mustholah dan kitab ulumul hadits.

Perkara ini adalah sesuatu yang sudah ma’ruf (diketahui) oleh para penuntut ilmu, maka rujuklah Muqoddimah Ibnu ash-Sholah, Fathul Mughits dan Tadribur Rawi. Dan rujuklah kitab-kitab yang membahas perkara ini –yaitu Ulumul Hadits dan Ilmu Jarh wa Ta’dil-.



Pertanyaan 5 : Sebagaimana telah anda sebutkan, semoga Allah menjaga anda, apakah mereka (al-Mutasyaddun atau orang-orang yang ekstrim, pent.) memiliki jalan yang benar di dalam berdakwah kepada Allah, apakah mereka, yaitu para da’i yang melempar tuduhan kepada setiap orang dengan tuduhan tamyi’ tanpa ada kesalahan, berada di dalam barisan salafiyin? Kami mengharapkan anda memberikan contoh kepada kami?

Jawaban : Tidak ada yang perlu dicontohkan, namun hal ini memang ada dan kalian telah mengetahuinya! Perkara ini dapat kalian rasakan dan kalian pun mengetahuinya secara pasti. Tidak ragu lagi bahwa hal ini ada. Kita mohon kepada Allah agar Ia menghilangkan fitnah ini, karena sesungguhnya hal ini –demi Allah- telah membahayakan dakwah salafiyah dimana-mana, bukan hanya di sini, namun di seluruh penjuru dunia! Ini adalah madzhab baru yang tidak dikenal Ahlus Sunnah, yaitu menuduh Ahlus Sunnah dengan mumayyi’un –yaitu : mubtadi’ah- dan mematikan Ahlu Sunah itu sendiri.

Aku tidak menganggap mustahil bahwasanya ada diantara orang-orang asing yang menyusup ke dalam manhaj salafi dan salafiyin, karena hal ini suatu hal yang telah diketahui secara pasti termasuk cara-caranya Ahlul Hawa’ (pengikut hawa nafsu) yang mana mereka menyusup ke dalam barisan salafiyin. Yahudi pun juga menyusupkan ke dalam barisan kaum muslimin para penyusup yang menyesatkan. Dan pasti mereka juga berpakaian dengan pakaian salafi jika memang perkaranya berkaitan dengan salafiyin.

Anda lihat banyak Ahlul Bid’ah mendakwakan diri mereka sebagai salafiyin, bahkan mereka mendakwakannya dengan semangat yang meluap-luap dan kekuatan. Mereka mempertahankannya dari anda, mereka adalah orang-orang yang tak dapat anda percayai, -semoga Allah memberkahi anda-. Bahkan anda temui di dalam kaum muslimin –di seluruh dunia- adanya orang-orang yang meyelinap masuk dengan nama Islam, hal ini adalah perkara yang sudah dikenal, tetapi hanya orang-orang yang cerdik sajalah yang mengetahui mereka, yang mengetahui perihal mereka, sikap mereka dan tindakan mereka, dengan qarinah (indikasi/petunjuk) dalil. Semoga Allah memberkahi kalian memberi taufiq kepada kalian.



Pertanyaan 6 : Sebagian pemuda membagi para ulama salafiyin menjadi ulama syari’at dan ulama manhaj, apakah pembagian ini benar?

Jawaban : Ini salah! -Semoga Allah memberkahi kalian-, namun dengan spesialisasi hukumnya seseorang dapat mengetahui syari’at yang terkadang melebihi lainnya disebabkan perhatiannya terhadap manhaj serta apa yang menyelisihi manhaj tersebut beserta orang-orangnya.

Dan ulama lainnya, ia memiliki perhatian dan pengetahuan, namun ia tidak memiliki spesialisasi dalam segala hal, terutama jika yang lainnya menyelisihinya –semoga Allah memberkahi kalian-.

Tinggalkan pemilahan seperti ini, karena asal pemilahan bersumber dari Ahlul Bid’ah, (yang membagi ulama menjadi) fuqoha’ (Ahli Fikih) yang faham waqi’ (realita) dan fuqoha’ yang tidak faham waqi’! ini adalah pemisahan baru yang sekarang ada di dalam barisan salafiyin, padahal tidak sepatutnya ada.

Mereka menghendaki mencela Ibnu Baz dan ulama-ulama yang ada. Mereka berkata : ‘Para ulama itu tidak tahu waqi’!’ Jika mereka (Ahlul Bid’ah, pent.) berbicara tentang perkara kontemporer dan problematika yang dihadapi dan menimpa kaum muslimin yang terjadi saat ini, mereka berkata : ‘Para ulama itu tidak faham waqi’!!!’. Celaan ini adalah celaan yang sangat berbahaya, untuk mengaburkan manusia bahwa masalah ini adalah khusus bagi mereka (yang sanggup menanganinya, ed.).



Pertanyaan 7 : Apakah boleh kita menghajr (mengisolasi/memboikot) orang-orang yang menyalami Ahlul Bid’ah dari kalangan Ikhwanul Muslimin, harokiyin dan takfiriyin, mereka bermajlis dengan mereka dengan tetap mengakui bahwa mereka adalah mubtadi’, namun mereka menjauhkan manusia dari ilmu Jarh wa Ta’dil?

Jawaban : Bagaimana mereka bermajlis dengannya?? Apakah Salafiyun bermajlis dengan Ahlul Bid’ah?? Jika ditemukan ada seorang salafi yang kuat, dan ia mampu untuk menyampaikan dakwah kepada Ahlul Bid’ah dan kelompok-kelompok (lainnya) dengan hujjah dan burhan, mampu mempengaruhi mereka dan bukan mereka yang mempengaruhinya, maka ini merupakan kewajibannya supaya dia bercampur dengan mereka dalam rangka mendakwahi mereka, bukan dalam rangka makan dan minum bersama mereka, bukan pula untuk bermudahanah (menjilat/berpura-pura), bukan pula untuk sesuatu dari urusan agama, bukan pula untuk menyetujui kebatilan mereka. Sesungguhnya dia berkumpul dengan mereka di masjid untuk mendakwahinya, berkumpul dengan mereka di pasar untuk mendakwahinya, dan pergi naik mobil, pesawat atau kereta api besertanya untuk mendakwahinya.

Dia berdakwah dan mau tidak mau dia harus bercampur dengan mereka, yang dia tak dapat terbebas dari mereka, karena Ahlul Bid’ah dan Ahlul Ahwa’ adalah jauh lebih banyak, sedangkan salafiyun bagaikan rambut putih pada kerbau hitam, semoga Allah memberkahi kalian, maka mau tidak mau salafiyun berbaur dengan mereka, namun apakah kewajibannya? Kewajibannya adalah, menyampaikan dakwah kepada Allah dengan cara yang hikmah dan nasehat yang baik. Jika orang ini berdiam diri di rumahnya dengan dalih menghajr Ahlul Bid’ah! Maka hal ini dapat mematikan dakwah!!

Contohnya, ada seorang manusia yang jahil dan pribadinya lemah, jika dia mendengar syubhat yang kecil saja dengan serta merta dia mengambilnya, maka sepatutnya orang ini menyelamatkan diri dari Ahlu Syubhat dan Ahlu Bid’ah, menjauhi mereka dan tidak bermajlis dengan mereka. Namun jika ada seseorang yang mengujimu dengan mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah salamnya : wa ‘alayka as-Salam. Tapi, jika anda bermajlis dengan mereka, makan-makan dengan mereka, bercanda dengan mereka dan bercengkerama dengan mereka, maka anda dalam hal ini telah melakukan kesalahan! Karena apa yang anda kerjakan menyelisihi manhaj salafi dan sunnah.

Sekarang… saya –Rabi’ misalnya-, tidaklah diriku melihat seorang mubtadi’ kecuali aku akan lari darinya! Dan aku tidak tau kenapa!! Fulan, fulan atau fulan dari para penuntut ilmu –misalnya-, tidaklah dia melihat seorang mubtadi’ melainkan ia lari darinya! Dia tidak mau melihatnya atau memandang wajahnya dari depan rumahnya melainkan ia menyembunyikan dirinya, jika ia melihatnya di suatu jalan, maka ia akan menghindar ke jalan yang lain. Yang demikian ini bukanlah jalannya salafi. Para sahabat dulu mereka menyebar diantara kaum kuffar di seluruh penjuru bumi, dan mereka menyebarkan agama Allah kepada mereka, semoga Allah memberkah kalian.

Salafiyun sebelum kita, mereka juga menyebar -seperti para sahabat- di tengah-tengah Ahlul Bid’ah, mereka mempengaruhi Ahlul Bid’ah, dan masuklah beibu-ribu manusia ke dalam haribaan manhaj salafi. Maka barangsiapa yang memiliki pemahaman dan kepribadian yang kuat serta ilmu yang mantap, hendaknya dia menegakkan hujjah dan mendakwahi mereka dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik. Maka anda akan lihat pengaruh hal ini.

Adapun orang yang lemah, Demi Allah! janganlah dia bercampur sedikitpun dengan mereka, namun jika ia diuji dengan salam maka wajib atasnya menjawab salam, tidaklah mengapa ia melakukannya, jika tidak apa yang ia lakukan? Namun, janganlah ia becampur dan jangan pula bermajlis dengan mereka.



Pertanyaan 8 : Bagaimana cara bermua’amalah terhadap seseorang yang berpendapat : ‘Sesungguhnya fulan telah dikatakan mubtadi’ oleh ulama, namun dia hanya menyalahkannya saja dan tidak mengeluarkannya dari lingkaran Ahlus Sunnah’? Dan manhaj baru ini mulai tampak setelah wafatnya para ulama senior seperti Albani, Ibnu Baz dan al-Utsaimin –semoga Allah merahmati mereka semua-.

Jawaban : Iya, manhaj ini memang baru-baru ini berkembang. Kalian memiliki ilmu dari Jarh wa Ta’dil –perkataan yang tadi telah kami utarakan-: ada manusia menjarh seseorang dan ada manusia tidak menjarhnya, ada manusia yang memujinya dan membela orang yang dijarh ini, dan kita meminta kepada orang yang menjarh tafsir (penjelasan sebab jarhnya, pent.). Jika ia menjelaskan sebab-sebab jarhnya secara benar maka wajib mengikutinya, karena hal ini termasuk mengikuti yang benar dan membantah orang-orang yang tidak memiliki kebenaran dan orang itu menolak kebenaran.

Hakikat Jarh wa Ta’dil itu sendiri didapatkan di sini, mereka menjarh seseorang namun jarhnya tanpa disertai hujjah maka sungguh ucapannya tidak bernilai. Jika mereka menjarh dengan hujjah maka wajib bagi orang yang menyelisihi mereka (orang yang menjarh, pent.) ini untuk mengakui kebenaran dan kembali kepada al-Haq, dan dia mengambilnya dengan hujjah, semoga Allah memberkahi kalian. Betapa banyak orang-orang yang mendustakan kebenaran dan menolaknya. Dan hal ini sungguh merupakan perkara yang besar dan sangat berbahaya.

Dan demikianlah –sebagaimana telah kukatakan pada kalian-, inilah dia kaidah di dalam Jarh wa Ta’dil, yaitu dituntut orang yang menjarh penjelasan (tafsir) jarhnya dan bayyinah (keterangan) atasnya jika mereka tidak memiliki bayyinah, namun jika mereka memiliki bayyinah dan dalil, maka ia menjadi hujjah dan mengikuti kebenaran, dan selesailah segala perkara.



Pertanyaan 9 : Semoga Allah memberi anda pahala, jika ada seorang ulama menghukumi seseorang bahwa ia adalah seorang mubtadi’, apakah dimutlakkan pula hukum ini terhadap pengikutnya yang mengikuti syaikhnya, mereka berdalih bahwa syaikh mereka hanya melakukan kesalahan biasa dan tidak perlu membid’ahkannya?

Jawaban : Dikembalikan pada pertanyaan pertama tadi, jika ulama tadi yang membid’ahkan orang ini memiliki hujjah atas tabdi’nya, maka wajib atas murid-muridnya dan setiap orang yang meneliti perkara ini mau mengambil kebenaran ini. Tidak boleh bagi mereka membelanya.



Aku memohon kepada Allah untuk mempererat hati kalian.

Aku memohon kepada Allah untuk mempersatukan kalimat kalian di atas kebenaran.

Aku memohon kepada Allah untuk menghilangkan tipu daya syaithan dari kalian.

Dan bersungguh-sungguhlah kalian untuk mewujudkan sebab-sebab (persatuan) ini, dan cabutlah sampai ke akar-akarnya sebab-sebab duri/luka perpecahan yang telah mendarah daging ini.

Semoga Allah menuntun kalian dan meluruskan langkah-langkah kalian –hayyakumullahu-

Lihatlah musuh-musuh kalian bergembira! Sesungguhnya dakwah salafiyah dihentikan dan diganggu –wahai saudaraku sekalian-, maka bertakwalah kalian kepada Allah terhadap (perihal) diri-diri kalian, dan bertakwalah kepada Allah terhadap dakwah ini. Dan wujudkalah semua sebab-sebab yang dapat menumpas segala kebatilan dan fitnah ini.

Barokallahu fiikum wa Hayyaakumullahu.

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarokatuh.






--------------------------------------------------------------------------------

[1] Diperlukan beberapa perubahan dari ceramah ini yang berbentuk (format) suara menjadi transkrip tulisan dengan beberapa perubahan sebagian lafazh dan pembenaran sebagian ungkapan agar sesuai dengan makna yang dimaksudkan tanpa menyelisihi makna aslinya. Catatan kaki (footnote) dalam risalah ini merupakan tulisan dari Departemen Riset Ilmiyah Markaz Imam Albani, harap diperhatikan.

[2] Ini adalah Khuthbatul Hajah yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memulai dengannya pada setiap khutbah jum’at dan khutbah nikah serta seremoni-seremoni lainnya yang serupa. Banyak para ulama turut menggunakan teks khutbah ini, yang masyhur dari mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu. Syaikh kami al-Imam al-Albany Rahimahullahu telah menyusun sebuah risalah tersendiri yang berjudul ‘Khutbatul Haajah allati kaana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yu’allimuha ashhaabahu’.

[3] Sanjungan semacam ini merupakan manhaj yang telah dijalani oleh ahlul ilmi dan ulama, yang mana mereka menyambut para penuntut ilmu dan pengajar sunnah nabi dengannya. Sebagaimana di dalam hadits Shofwan bin ‘Assal al-Muradiy Radhiallahu 'anhu, ia berkata : Aku mendatangi Nabi dan beliau saat itu berada di Masjid, beliau memakai jubah bergaris-garis berwarna merah, aku berkata kepada beliau : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang untuk menuntut ilmu, lantas beliau menjawab : “Selamat datang wahai penuntut ilmu, sesungguhnya penuntut ilmu itu dikelilingi oleh malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap mereka, kemudian mereka menaiki satu sama lainnya hingga sampai ke langit dunia dikarenakan kecintaan mereka terhadap apa yang dicari oleh penuntut ilmu.” (Shahih at-Targhib wat Tarhib (I/139-hadits:71). Maka hendaklah bergembira dengan bisyarah (kabar gembira) Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mana beliau bersabda : “Jika datang seseorang kepada suatu kaum dan mereka mengucapakan : Marhaban (selamat datang), maka ia akan disambut dengan marhaban di hari perjumpaan dengan Rabb-nya…” (as-Silsilah as-Shahihah : 1189).

[4] “Yang Allah meridhainya dan mereka meridhai Allah”. Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung murka terhadap orang yang merendahkan mereka, atau mencela mereka, ataupun mengurangi kedudukan mereka. Diantara keistimewaan dakwah salafiyah yang mubarakah ini, beserta para ulamanya yang ikhlash dan da’inya yang jujur -walillahil hamdu-, adalah penghormatan, pemuliaan, dan pengagungan serta pembelaan mereka terhadap para Sahabat Nabi… Maka sungguhlah hina dina para pembuat fitnah!

[5] Syaikh hafizhahullahu mengisyaratkan kepada hadits iftiraq (perpecahan), yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3991-3993) dan Ibnu Abi Ashim dalam kitab as-Sunnah (63-70), dan Syaikh kami, Imam Albani, telah menshahihkannya dengan riwayat yang beraneka ragam. Lihatlah ash-Shahihah (203,204,1492).

[6] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, dan dishahihkan oleh Syaikh kami di dalam Zhilalul Jannah (24-34), lihatlah ash-Shahihah (934) karya beliau.

[7] Penggalan dari hadits Jibril ‘alaihi Salam yang diriwayatkan Bukhari (51) dan Muslim (8) dan selainnya.

[8] Dikeluarkan oleh at-Turmudzi dan Ibnu Majah, serta dishahihkan oleh syaikh kami al-Imam al-Albani. Lihat ash-Shahihah (143,144).

[9] Ash-Shahihah (2222).

[10] Hadits Riwayat Muslim (2165).

[11] Hadits Riwayat Bukhari (7159) dan Muslim (466) dari Abu Mas’ud al-Anshari.

[12] Hadits Riwayat Bukhari (69) dan Muslim (1732) dari Abu Musa al-Asy’ari.

[13] Hadits riwayat Bukhari (4341) dan Muslim (2733).

[14] Al-Kifaayah (hal. 123) karya Imam al-Khathib al-Baghdadi.

[15] Hadits riwayat Bukhari (4855) dan Muslim (177) dengan lafazh yang serupa.

[16] Dikeluarkan Bukhari (481) dan Muslim (2586) dari Abu Musa al-Asy’ari.

[17] Dikeluarkan oleh Bukhari (6011) dan Muslim (2586) –dan lafazh ini dari Muslim- dari Nu’man bin Basyir.

[18] Dimanakah gerangan orang-orang yang mau mengambil pelajaran?! Dimanakah gerangan orang-orang yang mau mengambil ibrah?! Dan dimanakah gerangan mereka yang mendengar perkataan ulama?! Dan dimanakah mereka yang mau mengikuti nasehat dan petunjuk para ulama?!!

[19] Diantaranya yang paling terakhir adalah tuduhan irja’ dan murji’ah!, kami memohon kepada Allah ampunan dan keselamatan…

Nasehat Fadhilatus Syaikh Wasiyullah ‘Abbas Al-Hindi Hafidahullahu Kepada Salafiyun



Segala Puji hanyalah milik Allah Pemelihara alam semesta, dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada makhluk-Nya yang terbaik, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala Alihi wa Ashhabihi ajma’in.



Amma Ba’du :

Beberapa pemuda telah meminta kepadaku untuk memberikan beberapa patah kata nasehat, maka saya katakan ‘keselamatan hanyalah dari Allah’



Allah berfirman tentang kisah Ashhabul Kahfi :

artinya :


--------------------------------------------------------------------------------

“…Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”. Surat al-Kahfi (18) : 13


--------------------------------------------------------------------------------

Di dalam ayat ini, Allah –Subhanahu wa Ta’ala- telah memuji sekelompok pemuda yang hidup di tengah-tengah kelompok masyarakat yang tidak beriman kepada Allah.



Allah juga berfirman tentang mereka :

yang artinya :


--------------------------------------------------------------------------------

“…Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” Surat al-Kahfi (18) : 14


--------------------------------------------------------------------------------

Jadi, di dalam ayat ini Allah memuji mereka karena mereka menjalankan dan memelihara aqidah mereka, dan karena mereka mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah Azza wa Jalla semata. Dan siapapun yang berkata selainnya (yakni terdapat sesembahan lain yang berhak disembah) maka sesungguhnya ia telah melampaui batas (dhalim).



Ikhwan dan akhowat yang saya hormati…

Kalian harus bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas anugerah-Nya yang telah menjadikan kalian sebagai muslim yang mengikuti agama Islam. Agama yang Allah meridhainya sebagai agama bagi seluruh makhluqnya hingga Yaumil Qiyamah. Dan ketahuilah! bahwa Allah telah memerintahkan kaum Muslimin seluruhnya agar mereka senantiasa berpegang teguh kepada agama Allah, agama yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka tidak seharusnya mereka bercerai-berai menjadi berpartai-partai dan berkelompok-kelompok.



Allah berfirman :

yang artinya :


--------------------------------------------------------------------------------

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” QS. Ali Imran (3) : 103


--------------------------------------------------------------------------------



Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberitakan kepada kita bahwa ikhtilaaf (perselisihan) dan tafarruq (perpecahan) akan terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Dan kaum Muslimin akan berpecah belah dan bercerai berai ke dalam partai-partai dan kelompok-kelompok yang beraneka ragam. Bahkan, hal ini benar-benar telah terjadi.



Allah telah memerintahkan kita untuk menjauhi seluruh kelompok tersebut dan memerintahkan kita untuk mengikuti agama yang haq pada jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim)! Yang merupakan jalan yang telah diikuti oleh para salaf, para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam semoga Allah meridhai mereka semua.



Oleh karena itu, wajib bagi kita meyakini bahwa ash-Shirath al-Mustaqim, yang senantiasa kita pinta kepada Allah di setiap sholat kita, agar Ia menunjuki kita kepada ash-Shirath al-Mustaqim, yang dimaksud adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.



Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian takkan pernah sesat selama kalian berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.”



Inilah yang dimaksud dengan ash-Shirath al-Mustaqim! Jalan yang telah Allah terangkan tentangnya dalam firman-Nya:

yang artinya :


--------------------------------------------------------------------------------

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim), maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya…” QS. Al-An'aam (6):153


--------------------------------------------------------------------------------



Sebab itulah, wahai para pemuda islam, wajib atas kita mengimani bahwa Allah telah memberikan tanggung jawab bagi kita untuk mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala hal, yang manusia berselisih di dalamnya. Keduanya adalah dua sumber yang akan menerangkan kebenaran secara nyata segala bentuk ikhtilaf yang telah terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, baik aqidah, ibadah maupun mu’amalat mereka.


Dan kita juga harus mengimani bahwa Allah tidak memberi kita tanggung jawab untuk taqlid buta kepada perseorangan kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kita juga harus mengimani bahwa para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum telah mengetahui agama yang benar yang mereka ambil secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Oleh karena itulah, jika ada seseorang yang datang setelah mereka (i.e. Para Sahabat) dengan aqidah, ibadah atau amalan yang menyelisihi pemamahan mereka, adalah bathil!!! Tidak boleh bagi kita bertaqlid buta kepadanya juga terhadap apa yang ia bawa. Kita juga harus mengimani bahwa agama ini adalah agama yang hanif yang Allah perintahkan agar kita mengikutinya.



Inilah Aqidah Ahlul Hadits, semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum hingga hari ini. Dan inilah Salafiyah!!! Sebagian orang menyebut mereka Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, Muhammadiyah atau Atsariy. Semua nama ini hakikatnya adalah satu yang kesemuanya menunjukkan dan menggambarkan tentang kelompok yang berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah, tanpa bertahazub (fanatik) kepada person atau madzhab tertentu.


Maka karena itulah wahai para pemuda Islam, wajib atas kalian untuk tidak merasa malu atau enggan disebut sebagai Ahlul Hadits atau as-salafy ataupun al-Atsary. Dengan cara inilah, dakwah kita akan terbedakan dengan dakwah hizbiyyah lainnya. Dan kita juga harus mempercayai bahwa tidak boleh kita menyandarkan diri kepada kelompok apapun kecuali Jama’ah as-Salaf dan Ahlul Hadits. Karena inilah agama yang haq, yang Allah telah memerintahkan manusia untuk berada di atasnya. Allah berfirman :



yang artinya :


--------------------------------------------------------------------------------

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” QS Al-Bayyinah (98) : 5


--------------------------------------------------------------------------------


Mereka harus memurnikan ketaatan bagi agama ini dengan melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran asing hizbiyyah dan bid’ah yang tidak memiliki asal di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Juga merupakan kewajiban bagi kita mengajak ummat kepada dakwah ini dengan hikmah dan mau’idhah hasanah (pelajaran yang baik).



Dan kuperingatkan kalian wahai para pemuda!!! Berhati-hatilah dari segala pemikiran yang akan menyebabkan kerusakan dan fasaad. Pemikiran yang dipercayai oleh sebagian kelompok, baik mereka yang berada di negeri Muslim maupun non-muslim.



Kita harus mempercayai bahwa tidak ada irhab (terorisme) di dalam Islam!!! Bahkan Islam mengajak kepada kasih sayang dan kelemah-lembutan. Kecuali jika ada Muslim yang diserang. Dalam keadaan ini, diperbolehkan baginya bahkan wajib atasnya mempertahankan dirinya.


“Barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia adalah seorang syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan kehormatannya, maka ia adalah seorang syahid.” Sunan Abu Dawud 4754 yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Zaid.


Saya pribadi telah melihat beberapa pemuda yang memiliki sikap ghuluw (berlebihan/ekstrim) dan menjadikan sikap ghuluwnya ini sebagai jalan dalam beragama. Jika salah seorang dari mereka melihat ada orang lain yang berbeda dengannya dalam perkara Ijithad, ia menghajrnya, tidak berbicara dengannya atau tidak pula berusaha berhubungan dengannya! Walaupun orang yang dihajr tersebut bisa jadi keluarga atau teman terdekatnya.



Perilaku ini menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang berkata:
“Tidak layak bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir memboikot (menghajr) saudaranya lebih dari tiga hari.”

Bahkan, sesungguhnya wajib atas kalian mengajak orang yang berselisih dengan kalian ke jalan yang benar.



Iya, Memang ada kewajiban menghajr pada beberapa keadaan tertentu. Sebagai contoh: ketika menghajr seseorang akan memberikan mashlahat kepadanya dan memaksanya untuk meninggalkan kesalahannya. Hajr sebenarnya wajib ketika seseorang takut jika Aqidahnya akan terpengaruh oleh orang yang akan dihajrnya disebabkan bermajlis dengannya. Dalam keadaan ini maka wajib menghajr orang itu. Adapun selain dari alasan-alasan ini, maka tidak boleh menghajr, walaupun ia (orang yang akan dihajr) bukan seorang salafi! Selama keadaannya tidak mencapai kafir!


Wahai pemuda, sesungguhnya kalian semua ini hidup di negeri Non Muslim, negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam. Sedangkan kau memiliki banyak saudara muslim yang hidup di sini besertamu. Kendati demikian, wajib atas kalian semua untuk mengajak kaum muslimin kepada agama yang shahih ini, dan kalian tidak boleh bertahazub dan meyakini bahwa semua hizb tersebut berada di atas kebenaran! Bahkan, bekerjasamalah dengan mereka dalam segala perkara yang telah disepakati dalam hal aqidah, ibadah dan mu’amalat.


Di sisi lain, kalian harus menjelaskan kepada ummat tentang keshahihan pendapat kalian, dan kebenaran yang kalian yakini, juga kebenaran aqidah as-Salafiyyah yang selaras dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Juga termasuk kewajiban bagi kalian untuk menjelaskan kepada manusia dakwah yang haq ini, baik mereka muslim maupun kafir. Kalian harus melakukannya dengan menerapkan hikmah yang diperlukan, yang cocok dengan waktu dan tempatnya. Hal ini harus dilaksanakan tanpa mengkompromikan hukum agama dan tanpa menafsirkannya dengan kesalahan.


Wa billahi taufiq!
Saudara kalian yang mencintai kalian, Wasiyyullah. (hafidhahullah)

Nasehat Kasih Sayang Untuk Umat Islam dan Pembawa Panji Dakwah Salaf



Ditulis oleh: Syeikh Rabi’ bin Hadi Umair Al Madkhali

Diterjemahkan oleh: Abu Abdillah Muhammad Elvi bin Syamsi

(Da`i dan Penerjemah Bahasa Indonesia di Islamic Dawa & Guidance Center Hail.)



Bismillahi-r-rahmani-r-rahiim

Segala puji hanya milik Allah dan shalawat serta salam semoga dianugerahkan atas rasulullah, ahli bait dan para sahabat beliau serta orang yang mengikutinya.



Amma ba`du :

Sesungguhnya kita sekalian umat islam, sungguh telah dibedakan oleh Allah dari seluruh umat manusia, bahwasanya kita ini menegakkan amar ma`ruf nahi mungkar Allah berfirman :"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar" (QS Ali Imran :110 )



Rasulullah bersabda: "Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahkan dengan tangannya, jika tidak sanggup maka dengan lidahnya dan jika tidak sanggup (juga) maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman."



Dan Allah telah membebankan kepada kita agar kita bisa menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan. Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu." (QS An Nisa : 135 )



Allah telah memerintahkan kepada kita untuk saling tolong menolong (kerja sama) untuk melakukan kebaikan dan takwa, dan melarang kita untuk saling tolong menolong untuk perbuatan dosa dan pelanggaran (melampaui batas). Allah berfirman: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS : Al Maidah : 2).



Allah telah memerintahkan jihad demi menyebarkan dan membela agama ini. Jihad dilakukan dengan pedang dan tombak, dan memerintahkan kita untuk berjihad dengan memberikan penjelasan, hujjah dan argumen, merupakan jihadnya para nabi semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada mereka.



Allah telah memerintahkan untuk bersikap jujur dan selalu memilih kejujuran, dan melarang kita untuk berdusta dan memilih dusta. Rasulullah bersabda: "Peganglah oleh kalian kejujuran, karena kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke dalam surga. Seseorang senantiasa jujur, dan memilih kejujuran sampai dia tercatat sebagai orang yang selalu jujur di sisi Allah. Dan jauhilah oleh kalian dusta, sesungguhnya dusta itu membawa ke maksiat, dan maksiat membawa ke dalam api neraka. Seseorang senantiasa berdusta, dan memilih kekedustaan sampai dia tercatat sebagai orang yang selalu berdusta di sisi Allah."



Allah memperingatkan kita dari prasangka bohong (buruk sangka), Rasulullah bersabda : "Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong".



Allah memerintahkan kita untuk bersaudara, menjaga persaudaraan; Rasulullah bersabda : "Orang muslim adalah saudara muslim dia tidak mengkhianati temannya dan tidak membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan). Setiap muslim atas saudaranya muslim diharamkan kehormatan, harta dan darahnya. Takwa itu berada di sini, cukuplah seseorang melakukan kejahatan dengan menghina saudaranya muslim. H.R Tirmizi ia berkata : Hadits hasan.



Rasulullah bersabda: "Jangalah kalian saling dengki, saling membenci, saling membelakangi. Janganlah sebagian kalian menjual apa yang telah ditawar sebagian yang lain. Jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim, ia tidak menzolimi temannya dan tidak juga membiarkannya. Takwa itu berada di sini, beliau menunjuk dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang melakukan kejahatan dengan menghina saudaranya muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darah, harta dan kehormatannya. (H.R. Muslim).



Allah memerintahkan kita untuk memberikan nasehat. Rasulullah bersabda: "Agama itu nasehat maka kami berkata, bagi siapa wahai rasulullah ? bagi Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta masyarakat umum."



Allah memerintahkan kita untuk menolong orang yang dizolimi dan orang yang melakukan kezoliman. Rasulullah bersabda -shallallahu `alaihi wa sallam-: "Toolonglah saudaramu yang melakukan kezoliman dan yang dizolimi, seseorang berkata : wahai rasulullah saya akan menolongnya jika dia seorang yang dizolimi, lalu bagaimana saya menolongnya jika dia melakukan kezoliman? Rasulullah bersabda: kamu menahannya, atau menghalanginya dari kezoliman, maka hal itu adalah cara untuk menolongnya." (H.R. Bukhari).



Allah telah mengabarkan kepada kita sesungguhnya kezoliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarah, dan jika ada kebajikan sebesar zarah, niscaya Allah akan melipat gandakan dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar". (QS. An Nisa`:40 )



Rasulullah bersabda dalam hadits qudsi: "Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezoliman terhadap diri-Ku, dan Aku telah jadikan kezoliman itu suatu hal yang diharamkan di antara kalian, oleh karena itu janganlah kalian saling menzolimi."



Allah telah mengharamkan ghuluw (sikap melampaui batas / ekstrem) dalam agama, Allah berfirman: "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (Al Maidah :77 )



Rasulullah bersabda: "Jauhilah oleh kalian sikap ekstrem sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian disebabkan oleh keekstreman mereka dalam agama mereka."



Rasulullah bersabda : "Janganlah kalian memuja-mujiku seperti orang nasrani memuja-muji Ibnu Marwam (Isa).



Allah telah mengharamkan ta`asshub (fanatik golongan), rasulullah bersabda : "Barangsiapa yang berperang di bawah panji fanatik golongan, mengajak kepada fanatik golongan, atau berjuang untuk fanatik golongan, maka matinya adalah mati jahiliyah. (H.R. Muslim).



Syaikhul Islam Ibnu Timiyah berkata di majmu` fatawa jilid 28 hal : 16: "Bukanlah haknya guru untuk mengelompok-kelompokan orang, dan melakukan apa yang menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian atara mereka, akan tetapi handaklah mereka itu menjadi saudara-saudara yang saling tolong menolong atas melakukan kebaikan dan takwa, sebagaimana firman Allah: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah : 2)



Dan tidak seorang gurupun berhak untuk mewajibkan janji sumpah (baiat) kepada seseorangpun agar setuju terhadap setiap apa yang diinginkannya, mencintai siapa yang dicintainya, dan memusuhi orang yang dimusuhinya, bahkan orang yang melakukan tindakan seperti ini, maka ia sejenis tindakan Jingkiz Khan dan orang-orang semisalnya, hal mana mereka menjadikan orang yang setuju dengan mereka sebagai teman setia, dan orang yang menyelisihi mereka sebagai musuh bebuyut. Akan tetapi mereka dan pengikut mereka haruslah menjalankan janji Allah dan rasulullah, dengan mentaati Allah dan rasul-Nya, dan melakukan apa yang diperitahkan Allah dan rasul-nya, mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan menjaga dan menghormati hak-hak guru sebagaimana yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Kalau seandainya guru dari seseorang dizolimi hendaklah ia menolongnya, dan jika berbuat kezoliman ia tidak menolong guru itu atas perbuatan zolim, akan tetapi mencegahnya dari perbuatan kezoliman. Sebagaimana telah tetap di shahih dari rasulullah -shallallahu `alaihi wa sallam- bersabda : "Tolonglah saudaramu yang menzolimi atau yang dizolimi" ada yang bertanya wahai rasulullah saya akan menolongnya jika dia seorang yang dizolimi, lalu bagaimana saya menolongnnya jika dia melakukan kezoliman? Rasulullah bersabda : kamu menahannya, atau menghalanginya dari kezoliman, maka hal itu adalah cara untuk menolongnya" (H.R Bukhari)" (end).



Perkara-perkara ini, ciri khas yang agung dan pokok-pokok dasar yang lurus ini wajiblah ditegakkan oleh umat ini dan handaklah mereka betul-betul menjaganya baik secara individu, masyarakat, pemerintah dan rakyat, khususnya adalah para ulama dan thalabulilmi (penuntut ilmu agama), dan terkhusus bagi orang yang menggolongkan dirinya ke Ahli sunnah wal Jamaah.



Sesungguhnya dengan melanggar (melampaui batas) keseluruhan atau segelintir dari pokok-pokok di atas, maka akan timbul kerusakan yang besar di dunia dan agama, yang akan mengakibatkan terhapusnya pilar-pilar yang agung ini, nah dalam hal itu terdapat kejahatan yang berbahaya serta kerusakan yang besar.



Diantara perkara yang tidak dipungkiri oleh orang yang berakal, bahwa pelanggaran atau menganiayaan yang besar, kezoliman yang betul-betul jelek telah menimpa orang yang mengatakan perkataan benar, dan kebenaran yang ada pada dirinya tertolak pula ditambah lagi peremehan dan pelecehan terhadap dirinya. Sikap ini adalah suatu yang sangat dibenci dan dipungkiri, jikalau hal itu datang dari seorang kafir, apalagi kalau bersumber dari seorang muslim.



Maka wajiblah atas umat ini, khususnya pemuda-pemudanya, yang merupakan tulang punggung umat, agar menghormati kebenaran dan memuliakannya, dan hendaklah mereka merendahkan kebatilan serta membasmi pelakunya, siapapun orangnya. Dengan demikian Allah akan mengangkat martabat mereka dan memuliakan mereka, tapi kalau sebaliknya, maka itu akan mendatangkan mala petaka, kesesatan dan bencana serta kemurkaan dari Allah, dan mendapat sangsi di dunia dan akhirat, diantara sangsi itu adalah musuh dengan mudah menguasai mereka, sampai mereka kembali ke agama mereka yang benar, dan betul-betul berpegang teguh dengan agama itu, semoga Allah memberikan taufiq kepada semua kita untuk menjalankan apa yang diridhoi-Nya.





Ditulis oleh Al faqir ila afwillah wa maghfiratih.

Rabee bin Hadi Umair Al Madkhali

Tanggal 16 Safar 1423 (Senin 29 April 2002)



Teks asli berbahasa arab bisa anda temukan di situs syeikh sendiri : www.rabee.net atau http://www.rabee.net/articles.shtml#last dengan judul : "Nashihah wuddiyah min syeikh Rabee bin hadi al madkhali ilaa abnaail Ummah Islamiyah wa hamlatid dakwah salafiyah"

PERINGATAN TERHADAP FITNAH TAJRIH[1] DAN TABDI’[2] SEBAGIAN AHLUS SUNNAH DI MASA KINI


Oleh :

Al-Allamah al-Muhaddits asy-Syaikh al-Walid Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr[4]



Yang semisal dengan bid’ah menguji manusia dengan perseorangan[5] yang terjadi dewasa ini dari sekelompok kecil Ahlus Sunnah yang gemar mentajrih saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah dan mentabdi’ mereka, sehingga mengakibatkan timbulnya hajr[6], taqathu’[7] dan memutuskan jalan kemanfaatan dari mereka. Tajrih dan tabdi’ tersebut dibangun di atas dugaan suatu hal yang tidak bid’ah namun dianggap bid’ah.


Sebagai contohnya adalah dua syaikh kita yang mulia, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmati mereka berdua, telah menfatwakan bolehnya memasuki suatu jama’ah (semacam yayasan khairiyah pent.) dalam beberapa perkara yang mereka pandang dapat mendatangkan kemaslahatan dengan memasukinya. Dari mereka yang tidak menyukai fatwa ini adalah kelompok kecil tadi dan mereka mencemarkan jama’ah tersebut. Permasalahannya tidak hanya berhenti sebatas ini saja, bahkan mereka menyebarkan aib (menyalahkan) siapa saja yang bekerja sama dengan memberikan ceramah pada jama’ah tersebut dan mereka sifati sebagai mumayi’[8] terhadap manhaj salaf, walaupun kedua syaikh yang mulia tadi pernah memberikan ceramah pada jama’ah ini via telepon.


Perkara ini juga meluas sampai kepada munculnya tahdzir (peringatan) untuk menghadiri pelajaran (durus) seseorang dikarenakan orang tersebut tidak berbicara tentang fulan dan fulan atau jama’ah fulani. Yang mempelopori hal ini adalah salah seorang muridku[9] di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H. Dia meraih peringkat ke-104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar.


Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jarih[10] ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.


Keanehan ini tidak berakhir sampai di situ bahkan jika seorang yang berakal mendengarkan sebuah kaset yang berisi rekaman percakapan telepon yang panjang antara Madinah dan Aljazair[11]. Di dalam kaset ini, fihak yang ditanya ‘memakan daging’ mayoritas ahlu Sunnah, dan di dalamnya pula si penanya memboroskan hartanya tanpa hak. Orang-orang yang ditanyainya mencapai hampir 30-an orang pada kaset ini, diantara mereka (yang ditanyakan) adalah Wazir (menteri), pembesar dan orang biasa, juga di dalamnya ada sekelompok kecil yang tidak merasa disusahkan (yang tidak dicela karena termasuk kelompok kecil tersebut, pent.). Yang selamat adalah orang-orang yang tidak ditanyakan di dalamnya, namun mereka-mereka yang selamat dari kaset ini sebagiannya tidak selamat dari kaset-kaset lainnya[12]. Penyebaran utamanya adalah dari situs-situs informasi internet[13].



Wajib baginya menghentikan memakan daging para ulama dan para thullabul ‘ilm dan wajib pula bagi para pemuda dan penuntut ilmu untuk tidak mengarahkan pandangannya kepada tajrihat (celaan-celaan) dan tabdi’at (pembid’ahan) yang merusak tidak bermanfaat ini, serta wajib bagi mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat yang akan membawa kebaikan dan akibat yang terpuji bagi mereka di dunia dan akhirat.


Al-Hafidh Ibnu Asakir –rahimahullah- mengatakan dalam bukunya, Tabyinu Kadzibil Muftarii (hal 29), “Ketahuilah saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan kalian kepada keridhaan-Nya dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging para ulama –rahmatullahu ‘alaihi- adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah (sunnatullah) merobek tabir kekurangan mereka pula.” Dan telah kujabarkan dalam risalahku, Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, sejumlah besar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar berkenaan tentang menjaga lisan dari mencerca Ahlus Sunnah, terutama terhadap ulamanya.


Kendati demikian, hal ini tidaklah memuaskan sang pencela (jarih), bahkan dia mensifati risalahku tersebut tidak layak untuk disebarkan. Dia juga mentahdzir risalahku dan orang-orang yang menyebarkannya. Tidak ragu lagi, barang siapa yang mengetahui celaan (jarh) ini dan menelaah risalahku, ia akan menemukan bahwa perkara ini di satu lembah dan risalahku di lembah yang lain, dan hal ini sebagaimana yang dikatakan seorang penyair :



Qod tunkiru al-‘Ainu Dhou’ asy-Syamsi min romadin

Wa yunkriru al-Fammu tho’ma al-Maa’i min saqomin


Mata boleh menyangkal cahaya matahari dikarenakan sakit mata

dan mulut boleh menyangkal rasa air dikarenakan sakit mulut



Adapun ucapan si Jarih ini terhadap risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, ucapannya : “misalnya tentang anggapan bahwa manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan manhaj Syaikh Utsaimin menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah yang lainnya, maka hal ini adalah suatu kesalahan tidak diragukan lagi, yakni mereka berdua tidak memperbanyak bantahan dan membantah orang-orang yang menyimpang. Hal ini, sekalipun benar dari mereka, maka (ini artinya manhaj mereka) menyelisihi manhajnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan yang demikian ini artinya adalah sebuah celaan bagi kedua syaikh tersebut atau lainnya yang punya anggapan demikian!!!”

Maka jawabannya dari beberapa sisi :



Pertama, hal tersebut tidaklah terdapat di dalam risalahku bahwa Syaikh Abdul Aziz tidak memperbanyak bantahan. Bahkan, bantahan beliau banyak. Hal ini telah diterangkan dalam risalahku (hal. 51) sebagai berikut : “Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan keramahan dan lemah lembut disertai dengan keinginan kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya apabila kesalahannya jelas dan tampak. Selayaknya seorang yang hendak membantah orang lain, merujuk kepada metodenya Syaikh Ibnu Bazz ketika membantah untuk kemudian diterapkannya.”


Kedua, Sesungguhnya aku tidak mengingat telah menyebutkan manhaj Syaikh Utsaimin di dalam membantah, dikarenakan aku tidak tahu, sedikit atau banyak, apakah beliau memiliki tulisan-tulisan bantahan. Aku pernah bertanya kepada salah seorang murid terdekatnya yang bermulazamah kepadanya sekian lama tentang hal ini, dan dia memberitahuku bahwa dia tidak mengetahui pula apakah syaikh memiliki tulisan-tulisan bantahan. Yang demikian ini tidaklah menjadikan beliau tecela, dikarenakan beliau terlalu sibuk dengan ilmu, menyebarkannya dan menulis buku-buku.


Ketiga, bahwasanya manhajnya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu- berbeda dengan manhaj sang murid pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan manhajnya syaikh dikarakteristiki oleh keramahan, kelembutan dan keinginan kuat untuk memberikan manfaat kepada orang yang dinasehati dan demi menolongnya ke jalan keselamatan. Adapun sang pencela dan orang-orang yang serupa dengannya, manhajnya dikarakteristiki dengan syiddah[14], tanfir[15] dan tahdzir[16]. Dan mayoritas orang yang dicelanya di dalam kaset-kasetnya adalah orang-orang yang dulunya dipuji oleh Syaikh Abdul Aziz, yang beliau do’akan mereka (dengan kebaikan) dan beliau anjurkan mereka untuk berdakwah dan mengajari manusia serta mendorong dan beristifadah (mengambil manfaat) dari mereka.


Walhasil, sesungguhnya aku tidak menisbatkan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu- tentang ketiadaan-bantahannya terhadap orang lain. Adapun Ibnu ‘Utsaimin, aku tidak ingat pernah menyebutkan dirinya pada perkara bantahan, dan apa yang dikatakan si pencela ini tidak sesuai dengan risalahku. Hal ini merupakan dalil yang nyata tentang kesembronoannya dan ketidakhati-hatiannya (tanpa tatsabut). Jika hal ini dari dirinya tentang ucapan yang tertulis, lantas bagaimana keadaannya tentang apa-apa yang tidak tertulis???


Adapun ucapan pencela risalahku, “Aku sesungguhnya telah membaca risalah tersebut, dan aku telah mengetahui bagaimana sikap Ahlus Sunnah terhadap risalah ini. Semoga engkau akan melihat bantahannya dari sebagian ulama dan masyaikh, dan aku tidak menduga bahwa bantahan-bantahan tersebut akan berhenti sampai di sini, sesungguhnya akan ada lagi yang membantahnya, karena sebagaimana dinyatakan oleh seorang penyair :


Ja’a Syaqiiqun ‘Aaridlun rumhuhu

Inna Baniy ‘Ammika fiihim rimaah

Datang Syaqiq (Saudara kandung) sambil menawarkan tombaknya

Sesungguhnya Bani (anak-anak) pamanmu telah memiliki tombak.”



Demikianlah (yang dinyatakan si pencela ini), Aaridlun[17], padahal yang benar Aaridlon[18].
Tanggapan : Bahwasanya Ahlus Sunnah yang ia maksudkan adalah mereka yang manhajnya berbeda dengan manhajnya Syaikh Abdul Aziz –rahimahullahu- yang telah kutunjukkan barusan, dan ia dengan perkataannya ini (bermaksud) menghasut (membangkitkan semangat) orang-orang yang tidak mengenal mereka untuk mendiskreditkan risalahku setelah ia menghasut orang-orang yang mengenal mereka.


Sesungguhnya aku tidak melontarkan tombak, namun sesungguhnya diriku hanya menyodorkan nasihat yang tidak mau diterima oleh si pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan nasehat itu bagi orang yang dinasehati, bagaikan obat bagi orang-orang yang sakit, dan sebagian orang-orang yang sakit menggunakan obat ini walaupun rasanya pahit dengan harapan akan memperoleh manfaat.


Diantara orang-orang yang dinasehati tersebut ada yang menjadikan hawa nafsunya menjauh dari nasehatku, tidak mau menerimanya bahkan mentahdzirnya. Aku memohon kepada Allah untuk saudara-saudaraku semuanya taufiq dan hidayah-Nya serta keselamatan dari tipu muslihat dan makar Syaithan.


Ada tiga orang yang menyertai si pencela ini, yang dua di Makkah dan Madinah dan kedua-duanya dulu muridku di Universitas Islam Madinah. Orang yang pertama lulus tahun 1384-1385 sedangkan yang kedua lulus tahun 1391-1392. Adapun orang yang ketiga berada di ujung selatan negeri ini. Orang yang kedua dan ketiga inilah yang mensifati orang-orang yang menyebarkan risalahku sebagai mubtadi’, dan tabdi’ ini merupakan tabdi’ keseluruhan dan umum, aku tidak tahu apakah mereka faham atau tidak, bahwa yang menyebarkan risalahku adalah ulama dan penuntut ilmu yang disifatkan dengan bid’ah.


Aku berharap mereka mau memberikanku masukan/alasan mereka atas tabdi’ mereka yang mereka bangun secara umum, jika ada, untuk diperhatikan lagi.


Syaikh Abdurrahman as-Sudais, Imam dan Khathib Masjidil Haram, pernah berkhutbah di atas mimbar di Masjidil Haram yang di dalamnya beliau mentahdzir dari sikap saling mencela Ahlus Sunnah satu dengan lainnya. Hendaknya kita alihkan perhatian kita kepada khuthbahnya, karena sesungguhnya khuthbahnya begitu penting dan bermanfaat.


Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk menunjuki seluruh ummat kepada apa yang diridhai-Nya, agar mereka mendalami agama mereka (tafaqquh fid din) dan menetapi kebenaran, serta agar mereka menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang tidak bermanfaat. Sesungguhnya Ia berkuasa dan berkemampuan atasnya. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya.


[Dialihbahasakan oleh Abu Salma dari kutaib al-Hatstsu ‘alat-tib`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khatharaha, editor dan muraja'ah Ust. Abu Abdurrahman Thayyib, Lc dengan beberapa tambahan footnote dari beberapa sumber. Dan disebarkan oleh Lajnah Dakwah wa Ta’lim FSMS (Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah) Surabaya]



_________
Foote Note

[1] Mencela atau menerangkan aib seseorang yang dapat menjatuhkan kredibillitas (keadilan) seseorang.

[2] Membid’ahkan atau menghukumi seseorang sebagai mubtadi’ (Ahlul Bid’ah)

[3] Ini adalah petikan pasal terakhir dari kutaib Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad –hafidhahullahu- yang berjudul al-Hatstsu ‘alat-tiba`is Sunnah wa tahdziiri minal Bida’i wa Bayaanu Khatharihi. Risalah ini adalah risalah yang paling akhir yang beliau tulis setelah risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah yang dikritisi oleh sebagian masyaikh (sekelompok kecil menurut istilah beliau). Sebagaimana dalam risalah Rifqon, beliau membahas kaidah-kaidah dasar terlebih dahulu beserta dalil-dalilnya, baru kemudian beliau masuk ke inti pembahasan tanpa berdalam-dalam mengupasnya. Bahkan beliau dalam mengkritik sesama ahlus sunnah, beliau lakukan dengan lemah lembut dan tanpa menyebutkan orangnya, namun hanya mengisyaratkan saja. Hal ini menunjukkan bagaimana halus dan lembutnya syaikh dalam menasehati dengan harapan orang yang dinasehati tersebut akan kembali. Bukan dengan cara-cara mencela dan membongkar aibnya sehingga menjadikan orang yang dinasehati semakin lari menjauh dari nasihatnya.
Dalam risalah ini syaikh menjelaskan terlebih dahulu tentang sifat-sifat syariat, kekekalan, keuniversalitasan dan kesempurnaannya. Kemudian syaikh menjelaskan definisi Sunnah dan Bid’ah dengan menyertakan dalil-dalilnya, beliau terangkan dengan gamblang tentang bahaya bid’ah dan kewajiban mentahdzirnya sembari beliau bantah pemahaman yang menyatakan adanya bid’ah hasanah. Beliau juga menerangkan perbedaan antara Mashlahah Mursalah dan menyatakannya bukan sebagai bentuk bid’ah. Beliau menjelaskan pula tentang kewajiban berpegang dengan sunnah baik ushul maupun furu’nya, lengkap dengan dalil dan penukilan-penukilan ucapan ulama salaf. Sebelum menjelaskan tentang bahaya fitnah tajrih (mencela) dan tabdi’ (membid’ahkan), syaikh menerangkan diantara jenis bid’ah yang sering dilalaikan ummat, yaitu bid’ah menguji manusia dengan perseorangan, yang kebanyakan beliau nukil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[4] Beliau adalah al-Allamah al-Muhaddits al-Faqih az-Zahid al-Wara’ asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al-‘Abbad al-Badr –semoga Allah memelihara beliau dan memperpanjang usia beliau dalam ketaatan kepada-Nya dan memberkahi amal dan lisan beliau-, dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Allah Azza wa Jalla.

Beliau lahir di ‘Zulfa’ (300 km dari utara Riyadh) pada 3 Ramadhan tahun 1353H. Beliau adalah salah seorang pengajar di Masjid Nabawi yang mengajarkan kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan saat ini beliau masih memberikan pelajaran Sunan Turmudzi. Beliau adalah seorang ‘Alim Robbaniy dan pernah menjabat sebagai wakil mudir (rektor) Universitas Islam Madinah yang waktu itu rektornya adalah al-Imam Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-.
Beliau sangat dekat dengan al-Imam al-Allamah Abdul Aziz bin Bazz –rahimahullahu-, bahkan karena kedekatan beliau dengan al-Imam, ketika Imam Bin Bazz tidak ada (tidak hadir) maka Syaikh Abdul Muhsinlah yang menggantikan beliau, sehingga tak heran jika ada yang mengatakan bahwa Universitas Islam Madinah dulu adalah Universitasnya Bin Bazz dan Abdul Muhsin.

Semenjak kecil beliau telah biasa berkutat dengan ilmu, sehingga ketika beliau telah menginjak dewasa, tampak pada beliau perangai dan skill sebagai seorang muhadits yang ulung, yang sering dirujuk oleh masyaikh dan thullabul ilmi lainnya. Kedekatan beliau dengan masyaikh kibar telah mengukir keilmuan beliau hingga saat ini, dimana usia beliau saat ini kurang lebih 73 tahun dan beliau masih sanggup untuk memberikan muhadharah dan nasihat dan menyampaikan pelajaran hadits (terutama Sunan Abi Dawud) baik riwayah maupun dirayah. Beliau juga masih menjadi dosen di Universitas Islam Madinah dengan izin khusus kerajaan yang mana hal ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam berdakwah dan menuntun ummat ke jalan yang lurus dan benar.
Diantara guru-guru beliau adalah :

al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullahu-

al-Allamah Abdullah bin Abdurrahman al-Ghaits –rahimahullahu-

al-Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz -rahimahullahu-

al-Allamah asy-Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithy –rahimahullahu-

al-Allamah asy-Syaikh Abdurrahman al-Afriqy –rahimahullahu-

al-Allamah asy-Syaikh Abdur Razaq Afifi –rahimahullahu-

al-Allamah asy-Syaikh Umar Falatah –rahimahullahu-

dan masih banyak lagi. Yang disebutkan di atas adalah guru-guru beliau yang paling mempengaruhi diri beliau.

Beliau memiliki banyak karangan dan rekaman kaset-kaset ilmiah yang melimpah, diantara karya tulisnya adalah :

- ‘Isyruuna Hadiitsan min Hadiitsil Bukhaariy

- ‘Isyruuna Hadiitsan min Shohihil Imam Muslim

- Min Akhlaaqi Rasulil Kariim

- Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah fish Shahabatil Kiram

- Fadhlu Ahlil Bait wa Uluwwu Makanatihim ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah

- Aqidah Ahlus Sunnah wal Atsar fil Mahdi al-Muntazhar

- Ar-Raddu ‘ala ar-Rifa’iy wal Buthy

- Al-Intisharu lishahaabati al-Akhyar fi raddi abathil Hasan al-Maliki

- Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu namuwdzaj minar Ra’iylil Awwal

- Asy-Syaikh Umar bin Abdirrahman Falatah wa kaifa araftuhu

- Al-Ikhlash wal Ihsan wal Iltizaamu bisy-Syari’ah

- Fadhlul Madinah wa Aadabu Sukkanaha wa Ziyarotiha

- Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah

- Bi ayyi aqlin yakunu tadmir wa tafjir jihaadan

- Fathu Qowiy al-Matin Syarh Arba’in Nawawi

- Syarh Hadits Jibril fi ta’limis dien

- Kaifa Nastafiidu min Sunnati Nabawiyah

Dan masih banyak lainnya. Beliau juga memiliki banyak kaset-kaset ceramah yang terekam, diantaranya adalah :

- Syarh Mukhtashor Alfiyyah as-Suyuthi (57 Kaset)

- Al-Qirwaniyyah (14 Kaset)

- Syarh Shahih al-Bukhary (623 kaset dan belum selesai)

- Sunan an-Nasa`iy (414 kaset)

- Sunan Abi Dawud (272 kaset/3 CD)

- Kitabush Shiyam min Lu’lu’ wal Marjan (7 kaset)

- Aadabul Masyi ilash Sholah (14 kaset)

Dan masih banyak lainnya lagi. Ilmu dan waktu beliau benar-benar berkah, apalagi di usia beliau yang lebih dari tujuh puluh, beliau masih sempat dan sanggup memberikan nasehat beliau bagi generasi muda salafiyin.

Beliau memiliki putra yang juga ‘alim yang bernama Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al-Abbad, yang produktif dan cemerlang. Beliau memiliki banyak murid, diantaranya adalah :

Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhaly

Syaikh al-Allamah Ubaid al-Jabiry

Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani al-Jazairy

Syaikh al-Allamah Sulaiman ar-Ruhaily

Syaikh al-Allamah Ibrahim ar-Ruhaily

Dan masih banyak lagi.

Tidak diragukan lagi, beliau adalah ‘Alim Robbaniy saat ini yang dianggap paling senior. Namun, sungguh tak beradab, tatkala Syaikh al-‘Alim ini dicerca bahkan direndahkan oleh sebagian manusia-manusia yang tak tahu diri yang masih ingusan namun merasa sok alim. Mereka merendahkan dan menjatuhkan kewibawaan Syaikh dengan menyatakan bahwa Syaikh Abdul Muhsin bermanhaj tamyi’ (lunak terhadap ahlul bid’ah) atau tidak faham realita saat ini (tuduhan ini seperti pendapatnya sururiyin yang menyatakan ulama tak faham waqi’/realita) tentang beberapa perkara fitnah dimana Syaikh Abdul Muhsin memiliki sikap yang berseberangan dengan beberapa masyaikh.

Mereka, para pemuda ingusan yang ghuluw tersebut, dengan kedangkalan ilmunya dan dibakar oleh semangat jahiliyahnya, berani mencela risalah Syaikh yang berjudul Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, dan mereka mengutip perkataan beberapa masyaikh kiram (yang mulia) tentang dilarangnya menyebarkan risalah ini. Wallahul musta’an.

Fal hamdulillah, Syaikh yang mulia ini bangkit dan mengklarifikasi isi risalahnya terdahulu dari para pengkritik, bahkan beliau mentahdzir salah seorang murid beliau yang menurut beliau sudah berlebihan dalam bersikap. Maka, risalah al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wa tahdzir minal bida’ wa bayaanu khatharaha ini muncul dan beredar, menunjukkan kekokohan manhaj Syaikh yang diperpeganginya sebagaimana manhajnya guru-guru beliau terdahulu.

[5] Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan maksudnya adalah jika ada seseorang yang ditahdzir, maka kita harus turut mentahdzirnya. Jika kita tidak mentahdzirnya maka kita juga ditahdzir.

[6] Pemboikotan atau Isolir.

[7] Saling memutus hubungan.

[8] Orang yang bermanhaj lunak terhadap Ahlul Bid’ah.

[9] Yang beliau maksudkan di sini adalah Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby –wafaqohullahu-, sebagaimana telah maklum di kalangan Mahasiswa Islam Madinah tatkala Syaikh Abdul Muhsin memberikan ceramah dan menjabarkan isi kutaibnya ini. Hal ini diperkuat dengan munculnya tahdzir dari dua Masyaikh Yordan, yakni Syaikh Muhammad Musa Nashr dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly –hafidhahumallahu-, kepada Syaikh Falih bin Nafi’ yang dimuat di dalam situs Muntada al-Albany, www.almenhaj.com, yang menukil ucapan Syaikh di atas.

[10] Pencela atau orang yang gemar mencela.

[11] Transkrip kaset ini telah disebarkan ke situs www.sahab.net dan www.anasalafi.net, yang dikumpulkan dan ditranskrip oleh Abu Adunah Ied al-Jazairi dengan judul Rudud wa Masa`il fil Jarh wa Ta’dil. Kami memiliki kopian transkrip ini dan beberapa transkrip dari kaset-kaset Syaikh Falih –wafaqohullahu- lainnya yang isinya tahdzir dan tajrih kepada mayoritas Ulama Ahlus Sunnah, seperti Syaikh Abubakar Jabir al-Jazairi dikatakan jahil, Syaikh Muhammad Jamil Zainu dikatakan bukan ulama dan tak dapat membedakan antara salafi dan hizbi, syaikh Musa Nashr dan Husain al-Awaisyah dikatakan di atas manhaj kaum hizbiyun, Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin dikatakan tamyi’ sebagaimana manhajnya Syaikh al-Allamah Abdul Malik Ramadhani yang juga beliau tuduh tamyi’, dan masih banyak lagi. Kami mendapatkan URL transkrip ini dari seorang Mahasiswa ITS thuwailib fanatikus mantan Laskar Jihad yang ingin menunjukkan bahwa Masyaikh Yordania telah ditahdzir sehingga tidak perlu berpegang dengan pendapat mereka. Allahul Musta’an!!!

[12] Dalam kaset-kaset dan kesempatan lainnya, berpuluh-puluh masyaikh salafiyin tidak selamat dari tajrih dan bahkan tabdi’ beliau. Oleh karena itu Syaikh Ubaid al-Jabiri pernah mengeluarkan maklumat di penghujung tahun 1424 yang isinya mengklarifikasi tabdi’ Syaikh Falih kepada beberapa masyaikh salafiyin seperti Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, Sulaiman ar-Ruhaili, dan lain-lain. Terakhir, beberapa Syaikh Kibar seperti Syaikh al-Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkholy dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi membantah dan menasehati Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harby. Jika antum buka situs www.rabee.net akan antum jumpai artikel-artikel bantahan dan nasehat kepada Syaikh Falih bin Nafi’ oleh Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi –hafidhahullahu-. Semoga Allah memberkahi para ulama kita yang saling menasehati dalam rangka menetapi kebenaran dan kesabaran.

[13] Penyebaran utamanya adalah syabakah sahab.net dan anasalafi.net. Al-Allamah asy-Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi telah memberikan nasehat yang cukup pedas kepada webmaster syabakah www.anasalafi.net untuk memperhatikan ushlub dakwahnya. Beliau juga menasehatkan bagi www.sahab.net dan situs-situs salafiy lainnya untuk memperhatikan risalah-risalah yang akan dimuat lebih cermat tentang maslahat dan madharatnya, dan beliau juga menasehatkan supaya tidak memasukkan artikel-artikel dari orang-orang yang (tidak dikenal) dan hanya menggunakan kunyah. Semoga Allah memberkahi ilmu Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholy –Hafidhahullahu-.

[14] Kekerasan, baik dengan sikap yang bengis, tidak ramah, tidak mau senyum kepada sesama muslim dan perangai-perangai buruk lainnya.

[15] Perilaku yang menyebabkan manusia lari dari kebenaran, enggan menerimanya dan menjauh dari ahli kebenaran.

[16] Sekarang coba perhatikan situs www.salafy.or.id!!! Pembaca budiman akan mendapatkan bahwa modal utama yang dijajakan situs ini adalah tahdzir dan tajrih. Mereka mengklaim bahwa situs ini adalah situs Jarh wa Ta’dil di Indonesia, aduhai sungguh mudah mengklaim daripada membuktikan, sebagaimana peribahasa mengatakan ad-Da’awiy maa lam tuqiimu ‘alaiha bayyinatin abna’uhaa ad’iyaa’ (Pengaku tanpa disertai bukti hanyalah pengaku-ngaku belaka). Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad telah menjelaskan kekeliruan klaim Jarh wa Ta’dil ini dalam transkrip tanya jawab beliau dengan seorang Yamani, yang dimuat di situs www.calltoislam.com (Forum). Silakan dirujuk karena besar manfaatnya.

Terlebih lagi, seorang pembaca yang berakal, pasti akan mengetahui dengan gamblang bagaimana manhaj ghuluw (ekstrim dalam mencela dan membid’ahkan) tidak akan menghasilkan kemanfaatan bagi ummat, bahkan akan menimbulkan perpecahan di tubuh ummat sendiri. Sebagaimana pernah ditanyakan kepada Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh Muhammad Musa Nashr –hafidhahumallahu- tentang hal ini (i.e. perpecahan di tubuh salafiyah), maka mereka berdua –hafidhahumallahu- telah memberikan jawaban yang indah dan memuaskan.

Syaikh Salim –hafidhahullahu- berkata : “Sebenarnya terdapat sekelompok orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah, yang berupaya untuk memecah-belah para ulama salaf dengan menyebarkan berita-berita bohong, dan mengarang kejadian-kejadian fiktif yang sebenarnya tidak ada, membesar-besarkan kesalahan, sibuk dengan qila wa qola dan mengadu domba. Wajib bagi para da'i dan ulama salaf agar waspada terhadap kelompok-kelompok pembuat makar dan keji ini, yang mengingatkan aku tentang pemikiran yang dibawa Al-Haddadi sejak sepuluh tahun yang lalu yang menamakan kelompok mereka dengan As-Sunnah;(berkedok) memerangi ahli bid'ah dan sebagainya, ternyata mereka berupaya untuk mencela para ulama salaf yang terbaik. Mereka mencela Ibn Hajar, an-Nawawi bahkan hampir saja mereka mencela Syeikhul Islam dan Ibn al-Qayyim. Kini kelompok new-Haddadi ini muncul kembali dengan wajah baru, maka para ulama harus benar-benar waspada kepada kelompok yang zhalim terhadap diri mereka, zhalim terhadap para penyeru kepada dakwah salafiyyah”.

Syaikh Musa melanjutkan, “Namun ada orang-orang yang berusaha memecah belah barisan ulama, mengadu domba antara penuntut ilmu sebagaimana yang diterangkan Syeikh Salim dalam jawabannya tadi. Dari sini kami peringatkan kepada para du’at salafi untuk mewaspadai gerakan ini yang targetnya hanyalah kejelekan terhadap dakwah salaf yang telah tersebar di seantero dunia Islam bahkan diseluruh dunia, sebagaimana menyebarnya api jika disulut minyak”.

Jika kita cermati mereka (i.e. kaum ghulath mantan Laskar Jihad), tampak sekali perselisihan yang amat sangat keras di antara mereka. Kini mereka terpecah-pecah menjadi puing-puing yang antara satu dengan lainnya saling mencerca dan menghujat. Masing-masing mengklaim diri mereka di atas kebenaran dan fihak yang menyelisihinya dikatakan di atas kebathilan. Tidak heran label Ahlul Ahwa’ disematkan bagi mantan panglima yang mereka junjung tinggi dahulu dan kini mereka tinggalkan. Tidak mau kalah, sang purnawirawan panglima balik menyematkan kepada mantan pembebeknya dengan label Ahlul Fitnah wal Khianah. Tidak cukup sampai di sini, muncul lagi istilah RMS (Riau-Makasar-Solo) sebagai pemberontak dakwah salafiyyah menurut kubu Lukman Ba’abduh cs., yakni Riau (Dzul Akmal cs.), Makasar (Dzulqornain cs.) dan Solo (Na’im cs.). Dagelan apa lagi yang akan mereka munculkan kini??? Nas’alullaha salamah wal ‘aafiyah. Apakah ini yang dinamakan dengan dakwah salafiyyah yang mempersatukan ummat di atas manhaj al-Haq???

“Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.” (QS al-Hasyr (59) : 14)… Maka berfikirlah wahai orang-orang yang berakal…!!!

[17] Kata Aridlun di sini sebagai na’t/sifat.

[18] Kata Aaridlon di sini sebagai haal.

Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot] Dan Mentabdi [Membid'ahkan]

Oleh
Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz




Al-Allamah, al-Mufti al-Alim, Samahatus Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz - rahimahullahu- berkata, sebagaimana termuat dalam harian al-Jazirah, ar-Riyadh, asy-Syirqul Awsath, Sabtu 22/6/1412 H, sebagai berikut :

"Telah merebak di zaman ini tentang banyaknya orang-orang yang menisbatkan diri kepada ilmu (tholibul 'ilm, pent.) dan terhadap dakwah kepada kebajikan (da'i, pent.) yang mencela kehormatan kebanyakan saudara-saudara mereka para du'at yang masyhur dan memperbincangkan kehormatan (menjelekkan, pent.) para thullabul 'ilm (penuntut ilmu), para du'at dan khatib (penceramah). Mereka melakukannya secara sirriyah (sembunyi-sembunyi) di dalam majelis-majlis mereka, dan bisa jadi ada yang merekamnya di kaset-kaset kemudian disebarkan kepada manusia. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan di dalam muhadharah 'am (ceramah umum) di masjid-masjid. Cara ini menyelisihi dengan apa-apa yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya, dengan beberapa alasan :

Pertama.
Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da'i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.

Kedua.
Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du'at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari ahlis sunnah wal jama'ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid'ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid'ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid'ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du'at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid'ah serta kesesatan.

Ketiga.
Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du'at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du'at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du'at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul 'ilmi dan para du'at.

Keempat.
Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mukminin.

Kelima.
Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta'ala berfirman.

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari purbasangka, karena sesungguhnya sebagaian purbasangka itu adalah dosa." [Al-Hujurat : 11-12]

Selayaknyalah bagi seorang muslim membawa ucapan saudaranya seislam pada sebaik-baik tempat (kepada makna yang paling baik). Sebagian Salaf berkata, "Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap perkataan yang dilontarkan saudaramu sedangkan engkau dapat membawa perkataan tersebut pada makna yang baik."

Keenam,
Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mukminin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, 'mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??'*[1]"









Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]


Oleh
Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Abani




Berkata Syaikh kami yang mulia, al-Muhaddits al-Ashr al-Mujaddid al-Faqih Muhammad Nashirudin al-Albani -Rahimahullah- di dalam kaset Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shouthiyah no 784 side A, sebagai berikut :

"Syuf (perhatikan) wahai saudaraku! Aku menasehatkanmu dan para pemuda lainnya yang berada di jalan munharif (menyeleweng) sebagaimana tampak pada kami, wallahu a'lam, untuk tidak membuang-buang waktumu untuk mencela satu dengan lainnya dan sibuk dengan mengatakan fulan begini dan fulan berkata begitu. Dikarenakan, pertama, hal ini tidaklah termasuk ilmu sama sekali, dan yang kedua, uslub (cara) ini akan merasuk ke dada dan menyebabkan kedengkian serta kebencian di dalam hati. Wajib atasmu menuntut ilmu!!! Karena ilmulah yang akan menyingkapkan apakah perkataan ini yang mencela Zaid atau fulan dari manusia dikarenakan dirinya memiliki banyak kesalahan, apakah berhak bagi kita untuk menyebutkan shohibul bid'ah atau mubtadi' ataukah tidak?? Apa yang harus kita lakukan dengan mendalami perkara ini?? Aku tidak menasehatkanmu untuk mendalami seluruh perkara ini dengan benar-benar, karena hakikatnya kita sekalian sedang mengeluhkan perpecahan ini yang terjadi di tengah-tengah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) pada dakwah al-Kitab dan as-Sunnah, atau sebagaimana kita menyebutnya, Dakwah Salafiyah.!!!

Perpecahan ini, wallahu a'lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku. karena telah sering aku ditanya, 'apa pendapatmu tentang fulan?', dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. dan terkadang orang yang ditanyakan adalah diantara saudara-saudara kita terdahulu yang dikatakan dia menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??

Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, mana yang bathil dan mana yang haq.!!! Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudara seislam dikarenakan ia jatuh kepada beberapa kesalahan. Kami tidak mengatakan salah, namun kami katakan ia menyimpang dalam satu, dua atau tiga perkara, dan perkara lainnya ia tidak menyimpang.

Kita dapati para Imam Ahli Hadits yang menerima haditsnya (orang yang menyimpang) dan disebutkan di dalam riwayatnya ia khariji atau murji`i atau lainnya. Ini semua adalah aib dan kesesatan, namun diperoleh pada timbangan tersebut yang mereka berpegang teguh padanya. Kita tidak menimbang beratnya keburukannya dari kebaikan-kebaikannya atau dua atau tiga keburukannya terhadap banyaknya kebaikannya, dan yang terbesar adalah syahadat Laa ilaaha illa Allah wa Muhammad Rasulullah."

Syaikh juga berkata tentang definisi siapakah mubtadi' itu di dalam kaset Silsilah Huda wa Nur ash-Shouthiyah no 785 side B, sebagai berikut :

"Atsar Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bermanfaat untuk menunjukkan contoh dari terjatuhnya seorang alim kepada bid'ah tidaklah serta merta menjadikannya mubtadi' dan jatuhnya seseorang kepada perbuatan haram, dengan pernyataan memperbolehkan apa-apa yang diharamkan secara ijtihad, tidak serta merta menjadikannya sebagai pelaku keharaman. Saya katakan, atsar Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu ini menunjukkan bahwasanya ia dulu berdiri menasehati manusia pada hari Jum'at sebelum sholat, berfaidah untuk menunjukkan contoh yang shahih, bahwa bid'ah yang terkadang terjatuh kepada seorang alim, tidaklah dengan demikian ia menjadi seorang mubtadi'.

Sebelum masuk ke jawaban yang lengkap, aku katakan, al-Mubtadi' adalah berawal dari kebiasaannya mengada-adakan bid'ah di dalam agama, dan tidaklah orang yang mengada-adakan bid'ah, walaupun ia mengamalkannya bukan karena ijtihadnya, namun dari hawa nafsunya, tidak serta merta dikatakan dia mubtadi'!! contoh terjelas yang paling dekat dengan perkara ini adalah, seorang hakim yang dhalim yang terkadang berlaku adil pada sebagian hukum-hukumnya, tidaklah bisa disebut hakim adil, sebagaimana pula seorang hakim yang adil yang terkadang melakukan kedhaliman di sebagian hukum-hukumnya, tidaklah dinamakan dirinya hakim dhalim. Hal ini berkaitan erat dengan kaidah fiqh islami yang menyatakan bahwasanya seorang manusia dilihat dari banyaknya kebaikan atau keburukannya. Jika kita telah mengetahui hakikat ini, maka kita dapat mengetahui siapakah mubtadi' itu. maka, dengan demikian disyaratkan bagi mubtadi' dua hal, yaitu pertama, dia bukanlah seorang mujtahid namun hanyalah pengikut hawa nafsu dan kedua, dia menjadikan bid'ahnya sebagai kebiasaan dan agamanya."

Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]


Oleh
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Syaikh al-Imam Faqihuz Zaman, al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin -rahimahullahu- berkata saat Liqo`ul Babil Maftuh (Pertemuan terbuka) no 1322, sebagai berikut :

"Salafiyyah adalah ittiba' terhadap manhaj Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba' terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!

Kaum salaf seluruhnya menyeru kepada Islam dan bersatu di atas Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam, mereka tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya karena perkara takwil/penafsiran yang berbeda, Allahumma, kecuali dalam perkara aqidah, dikarenakan mereka berpandangan bahwa siapa-siapa yang menyelisihinya dalam perkara aqidah, maka telah sesat.

Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan manhajnya dengan menyesatkan setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan hal ini sebagai manhaj hizbiyah sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan. Dikatakan, 'lihatlah kepada madzhab salafus shalih, apa yang mereka perbuat di dalam jalan mereka dan kelapangan dada mereka pada perkara khilaf yang memang diperbolehkan ijtihad di dalamnya, sampai pada taraf mereka berselisih di dalam perkara aqidah dan ilmu. engkau dapati mereka, misalnya, mengingkari Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam melihat Rabbnya dan sebagian lagi menetapkannya, ada lagi yang berpendapat yang ditimbang pada hari kiamat nanti adalah anak dan sebagiannya berpendapat lembaran-lembaran amal-lah yang ditimbang õEngkau dapati pula mereka berselisih di dalam masalah fiqhiyah, baik dalam masalah nikah, faraidh, iddah, jual beli dan lain-lain. Walaupun demikian, mereka tidak saling menyesatkan satu dengan lainnya.

Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membeda-bedakan dan menyesatkan selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah yang ittiba' terhadap manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan, perselisihan, persatuan, cinta kasih dan kasih sayang sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, 'permisalan kaum mukminin satu dengan lainnya dalam hal kasih sayang, tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang satu, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam atau ikut sakit.' [Hadits Riwayat Muslim], maka inilah salafiyah yang hakiki!!!"



Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]

Oleh
Syaikh Al-Allamah Bakr Abu Zaed

Asy-Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaed -hafidhahullahu- berkata dalam bukunya Tashnifun Naasi bain adh-Dhanni wal Yaqin hal 40-41, Cet. I, Darul 'Aashimah, 1414 H.

"Dan upaya pemecahbelahan ini di tengah-tengah barisan Ahlus Sunnah, untuk kesekian kalinya sesuai dengan apa yang kita ketahui, ditemukan terjadi pada orang-orang yang berintisab (menyandarkan diri) sebagai Ahlus Sunnah sebagai orang-orang yang menentangnya, mereka menjadikan diri mereka menetapi ahlus sunnah dan menyandarkan bagian dari tujuannya untuk memadamkan 'bara api' ahlus sunnah. Mereka pun berdiri di jalan dakwah sembari melepaskan kendali lisan-lisan mereka dengan mengadakan kedustaan terhadap kehormatan para du'at, dan mereka temukan di jalan ahlus sunnah ini aral rintangan berupa fanatisme yang serampangan. Sekiranya anda melihat mereka! Orang-orang miskin yang memprihatinkan keadaan dan kerusakan yang ada pada mereka.

Mereka gemar 'melompat' dan 'meloncat', dan Allahlah yang lebih tahu tentang apa yang mereka upayakan. Anda akan benar-benar mendapatkan pada diri mereka sikap yang ceroboh dan sembrono dalam lamunan mereka yang melayang.

Mereka 'mengibarkan' perkara ini tanpa kaidah, seandainya anda berbantah-bantahan dengan salah seorang dari mereka, tatkala itu anda akan melihat modal semangatnya yang menggelegak tanpa bashirah. Yang mencapai akal-akal orang yang sederhana ini adalah semangat untuk menolong sunnah dan mempersatukan ummat, namun merekalah orang yang pertama kali akan menghancurkan sunnah dan mengoyak-ngoyak persatuan ummat..."



Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]

Oleh
Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad




Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad -hafidhahullahu- ditanya saat pelajaran (durus ) Sunan Abu Dawud, malam hari, 26 Shafar 1423 H., sebagai berikut :

Pertanyaan : Jika seandainya ada seorang syaikh berbicara mengenai seseorang dan menganggapnya mubtadi', apakah harus seorang pelajar (tholib) mengambil tabdi' ini? Ataukah harus mengetahui sebab-sebab tabdi' terlebih dahulu, dikarenakan terkadang tabdi' ini dimutlakkan atas seseorang walaupun ia multazim dengan sunnah?

Jawaban : Tidak setiap orang diterima perkataannya dalam perkara ini. Jika datang perkataan dari orang yang semisal Syaikh Ibnu Bazz atau Syaikh Ibnu Utsaimin, iya, mungkin untuk mempercayai ucapannya (mengambilnya, pent.). Adapun dari orang-orang yang 'merangkak dan merayap' (gemar menyebarkan desas-desus dan sembrono, pent.), maka tidak diambil perkatannya.

Pertanyaan : Masalah lain, tentang menerima khobar (berita) tsiqoh (orang yang terpercaya), apakah diterima perkataannya secara mutlak tanpa tatsabut? Misalnya dikatakan, fulan tersebut mencela dan memaki shahabat, sebagai contoh, apakah wajib bagiku menerima perkataan ini (langsung) dan menghukuminya (sebagai pencela sahabat, pent.) ataukah aku harus tatsabut?

Jawaban : (Anda) harus tatsabut!!!

Pertanyaan : Walaupun yang berkata demikian adalah salah seorang masyaikh?

Jawaban : Harus tatasabut!!! Orang yang berkata jika ia menisbatkan kepada kitabnya dan kitabnya eksis (maujud), sehingga memungkinkan ummat untuk merujuk kepada kitab ini. Adapun perkataan belaka yang kosong dari pokok (asas) yang disebutkan tentangnya terutama jika orang-orang tersebut masih hidup. Adapun jika ia termasuk dari para pendahulu kita dan dia memang dikenal dengan kebid'ahannya atau termasuk penghulu bid'ah, maka hal ini semua orang telah mengetahuinya, yaitu seperti Jahm bin Shofwan, dan demikianlah tiap-tiap orang yang berkata ia mubtadi', maka sesungguhnya perkataannya benar, yaitu mengatakannya mubtadi'. Adapun terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan sedangkan dia memiliki kesungguhan yang luar biasa dalam berkhidmat terhadap agama, kemudian dia tergelincir, maka seharusnya ummat ini menghukumi terhadapnya pada kesalahannya saja.

Pertanyaan : Jika didapatkan pada seorang alim perkataan yang mujmal (global) di dalam suatu perkara, dan terkadang perkataan mujmal tersebut secara dhohirnya menunjukkan kepada suatu perkara yang salah, dan didapatkan lagi padanya perkataan yang lain yang mufashshol (terperinci ) pada perkara yang sama tentang manhaj salaf, apakah dibawa perkataan seorang alim yang mujmal tersebut kepada perkara yang mufashshol?

Jawaban : Iya, dibawa kepada mufashshol, selama perkara tersebut adalah sesuatu yang masih samar, dan perkara yang jelas dan teranglah yang dianggap.


Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]

Oleh
Syaikh Al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan




Asy-Syaikh al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan -hafidhahullahu- berkata saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/69) sebagai berikut :

"Diantara kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian ini adalah mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, disebabkan disibukkannya mereka satu dengan lainnya dengan mentajrih (mencela) dengan gelar-gelar yang buruk. Tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan diri mereka dari yang lainnya dan merekapun menyibukkan kaum muslimin dengan perihal mereka. Yang mana hal ini menjadi melebihi mempelajari ilmu yang bermanfaat. Sesungguhnya banyak dan banyak dari para penuntut ilmu yang bertanya sampai kepada kami bahwa semangat dan kesibukan mereka hanyalah memperbincangkan manusia dan kehormatan mereka, baik di majelis-majelis maupun perkumpulan mereka, sembari menyalahkan ini dan membenarkan itu, memuji ini dan menyatakan itu sesat... Tidaklah mereka ini disibukkan melainkan hanya memperbincangkan manusia.."

Syaikh al-Allamah ditanya saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/57) sebagai berikut :

Pertanyaan : "Apa pendapat yang mulia tentang merebaknya celaan-celaan baik yang tertulis maupun yang didengar yang merebak di kalangan para ulama?? Tidakkah Anda memandang bahwa duduknya mereka untuk diskusi adalah lebih mulia?? Karena betapa banyak aturan-aturan islam yang rusak karena hal ini!!"

Jawaban : "Para ulama yang mu'tabar (dikenal keilmuannya) tidak ada pada diri mereka sedikitpun dari apa yang disebutkan dalam pertanyaan. Mungkin hal ini terjadi diantara para penuntut ilmu dan pemuda yang bersemangat, kami memohon hidayah dan taufiq Allah untuk mereka. Kami menyeru mereka untuk meninggalkan perbuatan tercela ini dan supaya mereka saling bersaudara di atas kebajikan dan ketakwaan, serta mengembalikan kepada para ulama terhadap perkara-perkara yang mereka sulit menentukan kebenarannya, dan agar mereka -para ulama- menjelaskan kepada mereka mana yang benar, dan supaya mereka tidak memberikan pengaruh pada fikiran dengan syubuhat sehingga mereka berpaling dari manhaj yang benar. Namun, janganlah difahami dari hal ini, meninggalkan bantahan terhadap kesalahan dan penyimpangan yang terdapat di sebagian buku-buku termasuk bagian nasehat bagi ummat."

Syaikh ditanya pula saat pengajian Aqidah dan Dakwah (III/332) sebagai berikut :

Pertanyaan : "Syaikh yang mulia, apakah nasehatmu bagi para pemuda yang meninggalkan menuntut ilmu syar'i dan berdakwah kepada Allah dengan menceburkan dirinya ke dalam masalah perselisihan diantara pada ulama tanpa ilmu dan bashirah??

Jawaban: "Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku dan khususnya para pemuda penuntut ilmu agar mereka menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang benar, baik di Masjid, sekolah, ma'had maupun di perkuliahan. Agar mereka sibuk dengan pelajaran-pelajaran mereka dan apa-apa yang bermashlahat bagi mereka. Dan supaya mereka meninggalkan menceburkan diri kepada perkara ini -perselisihan ulama-, dikarenakan tidak ada kebaikannya dan tidak bermanfaat masuk ke dalamnya... hanya membuang-buang waktu saja dan merisaukan fikiran...

Hal ini termasuk penghalang amal shalih, termasuk mencela kehormatan dan menghasut kaum muslimin. Wajib bagi kaum muslimin umumnya dan para penuntut ilmu khususnya, supaya meninggalkan perkara ini dan agar mereka mengupayakan perdamaian (ishlah) semampu yang mereka bisa. Allah Ta'ala berfirman, 'Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah kedua golongan saudara kalian tersebut, bertakwalah kepada Allah semoga engkau dirahmati." (al-Hujurat : 10). Terhadap orang-orang yang anda lihat melakukan kesalahan, maka wajib bagi anda menasehatinya dan menjelaskan kesalahnnya secara empat mata, dan memohon kepadanya agar ia mau rujuk (kembali) kepada kebenaran. Inilah yang dibutuhkan nasehat.

Syaikh Hafidhahullahu berkata saat pengajian Dhahiratut Tabdi' wat Tafsiq wat takfir wa Dhawabithuha, sebagai berikut :



"Oleh karena itu, wajib bagi para pemuda Islam dan penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dari sumbernya dan dari ahlinya yang dikenal akan keilmuannya. Kemudian setelah itu, mereka akan tahu bagaimana berbicara dan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena Ahlus Sunnah dulu maupun sekarang mampu menjaga lisannya dan mereka tidaklah berucap melainkan dengan ilmu.."






Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama'ah Yang Gemar Menghajr [Memboikot) Dan Mentabdi' [Membid'ahkan]

Oleh
Syaikh Al-Allamah Nashir Abdul Karim al-Aql

Asy-Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql -hafidhahullahu- berkata saat pengajian Syarh Mujmal I'tiqod Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai berikut :

"Orang-orang beriman seluruhnya adalah wali Allah dan bagi seluruh mukmin diberikan wala' (loyalitas) sebatas tingkat keimanannya, demikian pula sebaliknya (diberikan baro'ah (kebencian/berlepas diri) sebatas tingkat kemaksiatannya, pent.).

Orang-orang kafir, seluruhnya adalah wali Syaithan dan tidak ada wala' sedikitpun bagi orang kafir. Akan tetapi, mukmin yang bermaksiat, diberikan baro'ah kepadanya menurut kadar kemaksiatannya, demikian pula para pelaku bid'ah dari kaum muslimin, diberikan baro'ah menurut tingkat kebid'ahannya, dan bagi mereka wala' sebatas keimanannya. Oleh karena itu, sesungguhnya orang kafir tidak terkumpul padanya wala' dan baro' sekaligus.

Seorang mukmin yang kholish (murni) yang berjalan di atas as-Sunnah, baginya wala dan kecintaan yang sempurna. Jika ditemukan padanya kemaksiatan atau kebid'ahan maka terkumpul padanya dua perkara: yaitu kita berwala' terhadap kebaikan dan iman yang dimilikinya dan kita membenci terhadap kemaksiatan dan kebid'ahannya. Dengan demikian, mayoritas kaum mukminin pelaku kemaksiatan dan kebid'ahan yang tidak sampai mengeluarkan dari agama... mayoritas mereka... bahkan seluruhnya dari para pelaku kemaksiatan dan bid'ah yang kecil, bagi mereka kecintaan dan wala' sebatas keimanan dan amal shalih yang ada pada mereka serta baro' dan kebencian sebatas kemaksiatan dan kebid'ahan mereka.

Kaidah ini jarang dipegang oleh kebanyakan orang-orang yang lemah ilmunya dan dangkal pemahaman agamanya serta bodoh dengan manhaj salaf, sampai-sampai sebagian orang yang mengaku sebagai salafiy juga jatuh kepada hal ini, yaitu mereka memusuhi bid'ah dengan permusuhan yang kamil (sempurna), walaupun terkadang bid'ahnya tidak sampai tingkatan mengeluarkan pelakunya dari agama, dan terkadang pula kebid'ahan tersebut hanya sebagian kecil saja tidak menyeluruh pada seseorang. Sebagaimana pula mereka memusuhi kemaksiatan dengan permusuhan sempurna, atau memusuhi suatu penyelewengan dan kesalahan dengan permusuhan yang sempurna.

Sekarang kita perhatikan dampak dari penerapan perilaku ini, yang marak terjadi di tengah-tengah ahlus sunnah, yang menimbulkan keprihatinan dan percekcokan di dalam permasalahan agama, perkara Ijtihadiyah dan seputar dakwah kepada Allah. Kita dapatkan mereka saling berselisih tentang hal ini dan menerapkan kepada musuh dan lawan mereka sesama ahlus sunnah, baro'ah yang sempurna, sampai mereka membenci mereka, memperbolehkan menjelekkan mereka, menyebarkan aib mereka, mereka berniat karena Allah mendakwahi lawan mereka namun mereka menyebarkan aib mereka dan mentahdzir mereka.

Hal ini menyelisihi ushul (pokok) syariat. Iya memang, jika mereka melakukan kesalahan diperingatkan kesalahan-kesalahannya, namun tetap dengan mengakui keutamaan dan kemampuan yang mereka miliki. Ini adalah perkara dharuri (yang wajib dilakukan) atau jika tidak. akan timbul fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Demikian pula seorang yang menyimpang, wajib diberitahukan padanya, bahwa dirimu selaras dengan kebenaran dalam perkara yang memang benar dan dirimu menyelisihi kebenaran dalam perkara yang memang menyelisihi kebenaran. Dan janganlah mengobarkan kebencian di dada-dada kaum muslimin satu dengan lainnya sebagaimana cara yang dilakukan oleh orang-orang bodoh tadi. Bahkan saya katakan, tidak terlarang, di sini aku contohkan sedikit... termasuk tabiat dan adab islami jika anda berselisih dengan salah seorang saudara anda dan anda memandang ia melakukan kesalahan atau kebid'ahan yang cukup besar, anda memberikannya udzur setelah anda tidak mampu lagi memuaskan dirinya (dengan dalil), dan senantiasa berwala' seraya mengatakan 'aku mencintaimu karena Allah terhadap kebaikan dan kelurusan yang anda miliki'... (hal ini) tidak terlarang!!!

saudara-saudaraku yang kucintai karena Allah, hingga sampai-sampai jika ditemukan padanya kesalahan... (maka tidak apa-apa melakukan sebagaimana contoh di di atas, pent.)... yang dengan cara ini akan mendamaikan hati dan menghilangkan kebencian dan kedengkian yang dimiliki kaum mukminin satu dengan lainnya.

Sampai-sampai orang-orang bodoh tadi melupakan baro' kepada orang kafir dan pelaku bid'ah yang berat, dimana mereka palingkan nash-nash tentang baro' kepada saudara-saudara mereka. Aku takut mereka akan ditimpa -jika mereka tidak mau taubat dan kembali kepada kebenaran dan manhaj yang lurus- sebagaimana yang disifatkan nabi kepada salah satu kelompok ahlul bid'ah, 'yang mereka ini memerangi ahlul islam dan membiarkan ahlul awtsan (penyembah berhala)' yang datang dari hadits shahih ketika mensifatkan sebagian kelompok ahlul bid'ah.

Tentu saja, baro' yang kamil (sempurna) merupakan jalan kepada peperangan. Seorang manusia yang baro' kepada saudaranya muslim dengan baro' yang sempurna berimplikasi terhadap penghalalan darahnya. Walaupun tidak terjadi saat ini saat ini, namun wajib bagi kita untuk berhati-hati dari sikap yang dapat mengeruhkan keadaan ini. Kita perlu tahu bahwa ahlus sunnah terkadang berselisih diantara mereka, terkadang ditemukan pada sebagian ahlus sunnah kesalahan pada manhajnya, akan tetapi tanpa maksud/kesengajaan -dikarenakan ijtihad-, terkadang pula ditemukan pada mereka ketergelinciran yang besar, akan tetapi tanpa kesengajaan yang tidak menyebabkan mereka berpecah belah, dan terkadang pula didapatkan pada sebagian ahlus sunnah suatu kebid'ahan, namun tidak banyak dan tidak termasuk bid'ah yang kategori berat.

Namun, tetap wajib bagi kita menyalahkan terhadap kesalahan yang ada pada mereka, namun kita tetap menganggap mereka, mencintai dan berwala' terhadap mereka dari perkara-perkara yang benar jika mereka termasuk ahlus sunnah.

Wallahu a'lam. Semoga Sholawat senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya."

Dialihbahasakan oleh Abu Salma dari kutaib : Aqwaalu wa Fatawa al-Ulama' fi Tahdzir min Jama'atil Hajr wa Tabdi'.





--------------------------------------------------------------------------------


[1] Isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha ketika berkata, 'Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam jika menyampaikan sesuatu tentang seseorang beliau tidak berkata, 'mengapa fulan berkata demikian', namun beliau berkata, 'mengapa ada kaum yang berkata demikian dan demikian?'.' Hadits Shahih diriwayatkan Abu Dawud dalam bab al-Idznu wal Isti'dzan (izin dan meminta izin), lihat Silsilah ash-Shahihah no 2064.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

* Pustaka Digital Al Kubro ini terilhami dari beberapa software program Pustaka atau Mausu’ah Digital yang kami dapatkan saat kami menunaikan Ibadah haji tahun 2006 yang lalu. Alhamdulillah kami berkesempatan mengkoleksi berbagai macam software tersebut, baik dalam bentuk CD, DVD ataupun eksternal Hardis. Dengan koleksi tersebut sesampainya ditanah air kami coba pelajari dan cermati, dan kesimpulannya, kami sangat berbahagia sekali karena kami telah mendapatkan gudang samudera ilmu yang amat berharga. Impian untuk memiliki perpustakaan lengkap tercapai sudah. Kami sempat mengkalkulasi jumlah kitab yang ada dalam software tersebut mencapai lebih dari 2500 judul yang terdiri lebih dari 20.000 jilid, Jika judul kitab dalam jumlah tersebut kita beli dalam versi cetaknya, kita butuh dana sekurang kurang 1 Milyar Rupiah.

* Berangkat dari yang tersebut diatas kami berkeinginan kuat kiranya software tersebut bisa di nikmati oleh kaum Muslimin Indonesia, akan tetapi yang menjadi kendala adalah factor bahasa yang tidak semua orang bisa bahasa Arab atau mereka yang bisa bahasa Arabpun belum tentu paham bahasa istilah computer dalam bahasa Arab. Akhirnya kendala tersebut bisa kami atasi dengan cara mengolah ulang interface software ke dalam bahasa Indonesia dan kadang kadang dicampur dengan bahasa Inggris karena tidak memungkinkan di Indonesiakan.



* Software program Pustaka ini dirancang dengan mode opensource sehingga sangat memungkinkan untuk dikembangkan pengguna menjadi pustaka pribadi yang dinamis dan variatif. Oleh karena itu dalam pola distribusi kami paketkan dengan training penggunaan yang insya Allah dengan cara tersebut pengguna bisa memanfaatkan software secara optimal dan maksimal.



* Bagi mereka yang sama sekali tidak paham bahasa Arab kami masukkan program instant translator yang sementara bisa dimanfaatkan dengan cara online link via google/translate. Insya Allah pada versi berikutnya akan kami usahakan secara offline dengan software khusus. Mohon doanya.